Alif Muhammad Shalih, Anak Buruh Jahit yang Nyaris Putus Sekolah, Kini Berprestasi hingga Kancah Internasional
- Penulis : Mila Muzakkar
- Rabu, 25 Juni 2025 08:57 WIB

ORBITINDONESIA.COM – Di sebuah sudut desa di Kabupaten Bandung, hidup seorang anak laki-laki yang sejak kecil akrab dengan suara mesin jahit dan aroma kain.
Ia bukan anak pengusaha konveksi, melainkan anak dari seorang buruh jahit rumahan. Dialah ibunya, yang bekerja siang malam demi menyambung hidup. Nama anak itu adalah Alif Muhammad Shalih.
Sejak usia dua tahun, Alif sudah kehilangan sosok ayah. Ibunya, seorang single mother tangguh, menjadi satu-satunya pelita hidupnya. Mereka hidup dalam keterbatasan, namun tidak pernah kekurangan semangat.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Alif sudah menunjukkan ketekunan luar biasa dalam belajar. Ia selalu menjadi juara umum, namun ujian hidup justru datang saat akan masuk SMA.
“Saya hampir putus sekolah,” kenangnya lirih. Kondisi ekonomi keluarga yang sangat terbatas sempat membuat masa depannya kabur. Namun takdir berpihak pada semangat.
Dengan dorongan sang ibu dan catatan prestasi akademik yang cemerlang, Alif mendapatkan beasiswa penuh dari pesantren tempatnya menempuh pendidikan sebelumnya. Ia adalah anak pertama di keluarga besarnya yang bisa menempuh pendidikan di pondok.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Air Mata Jurnalis Perang, Inspirasi dari Film Lee
Tak berhenti di sana, Alif lulus dari pesantren dengan nilai terbaik dan berhasil menembus Universitas Padjadjaran melalui jalur SNBT, memilih jurusan Sastra Arab, dan kembali mendapatkan beasiswa KIP Kuliah.
Di tengah tantangan ekonomi, Alif justru menunjukkan kemandirian yang luar biasa. Ia menolak menjadi beban, dan berjuang untuk mandiri secara finansial.
Berbagai lomba nasional dan internasional Alif menangkan. Ia juga bekerja sebagai MC, tutor SNBT dan Bahasa Arab, menjadi reporter Kompas TV, dan master trainer ASEAN Digital Literacy Programme bersama ASEAN Foundation & Google, asisten dosen, serta muthawwif di Arab Saudi.
Baca Juga: Pesantren Nurul Furqon Rembang Jawa Tengah Luncurkan Komunitas Puisi Esai
Dari berbagai penghasilan itu, Alif tak lupa pada akar: ia rutin mengirim uang untuk ibunya, bahkan mengajak keluarganya makan di luar atau berlibur kecil. “Itu bukan soal uang, tapi bentuk cinta dan balas budi,” katanya.
Semua pengalaman itu membawanya pada wawasan global, relasi lintas negara, dan nilai toleransi antaragama. Alif sadar, jika dulu ia menyerah pada keadaan, mungkin ia tak akan pernah menginjak tanah suci sebagai pemandu jamaah umroh, atau menjadi pembicara di forum internasional.
“Kalaulah dulu aku menyerah dengan keadaan hingga putus sekolah, mungkin aku gak akan bisa sampai di titik sekarang,” ungkapnya.
Semua pencapaian itu, baginya, bersumber dari satu doa yang tak pernah putus, doa ibu.
“Jangan bunuh mimpimu karena faktor ekonomi atau keterbatasan apa pun. Siapapun bisa menjadi apapun. Tak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai, yang ada hanya niat yang terlalu rendah untuk melangkah.” Pesan Alif untuk anak-anak muda, khususnya.
Alif adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah alasan, melainkan batu loncatan. Kisahnya adalah napas baru bagi jutaan pemuda Indonesia yang tengah berjuang di tengah keterbatasan. Bahwa harapan akan selalu ada, selama semangat tak padam. *** (AL)