Investor Besar Tinggalkan Pasar AS di Tengah Perang Dagang dan Naiknya Utang AS
- Penulis : Mila Karmila
- Sabtu, 07 Juni 2025 07:00 WIB

ORBITINDONESIA.COM -- Investor institusional besar meninggalkan Amerika Serikat (AS) seiring perang dagang pemerintah AS dan utang pemerintah yang meningkat pesat mengguncang kepercayaan terhadap aset-aset Amerika, demikian dilaporkan Financial Times pada Kamis, 5 Juni 2025.
"Kebijakan perdagangan presiden AS yang tidak menentu telah mengguncang pasar global dalam beberapa bulan terakhir, memicu aksi sell-off yang tajam dalam dolar AS dan membuat saham-saham Wall Street tertinggal jauh di belakang rival-rival Eropa tahun ini," menurut laporan yang diunggah secara daring itu.
Seorang eksekutif senior di sebuah firma permodalan swasta besar AS menggambarkan apa yang disebut oleh Gedung Putih sebagai "hari pembebasan" (liberation day), ketika pemerintahan AS mengumumkan tarif besar-besaran terhadap mitra-mitra dagang Washington, sebagai "peringatan keras bagi banyak pihak bahwa mereka terlalu bergantung pada AS."
Baca Juga: Penelitian Sebut Tarif AS Akan Picu Krisis Energi di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Hal ini memicu banyak investor institusional untuk meninjau skala kepemilikan mereka di negara itu, urai laporan tersebut.
Lebih lanjut laporan itu mengutip Caisse de depot et placement du Quebec, dana pensiun terbesar kedua di Kanada, yang menyatakan bahwa pihaknya akan mengurangi eksposurnya terhadap AS dan meningkatkan investasi di Inggris, Prancis, dan Jerman.
Perusahaan investasi yang berbasis di New York, Neuberger Berman, telah melakukan 65 persen dari investasi ekuitas swasta bersamanya di Eropa tahun ini, naik dari 20-30 persen dalam beberapa tahun terakhir, menurut Joana Rocha Scaff, kepala divisi ekuitas swasta Eropa perusahaan tersebut.
Baca Juga: Penjualan Otomotif di AS Anjlok pada Mei 2025 Seiring Pudarnya "Demam" Pra-Tarif
"Kami mulai melihat tanda-tanda awal bahwa investor mulai menjauh dari AS," kata Richard Oldfield, CEO perusahaan manajemen aset Inggris Schroders, kepada Financial Times.***