George Soros dan Media "Kritis" yang Mendapat Investasi dari NGO Asing
- Penulis : M. Ulil Albab
- Jumat, 23 Mei 2025 13:00 WIB

Oleh Supriyanto Martosuwito*
ORBITINDONESIA.COM - Jargon "media adalah anjing penjaga demokrasi," - “media adalah cermin masyarakat” - “media menyuarakan mereka yang tak bersuara” - adalah dalih usang bagi media yang kini mendapat investasi dan donasi dari NGO asing dan mengabdi kepada kelompok kepentingan di tingkat lokal.
Dengan alasan “suara kritis” dan ”memperjuangkan demokrasi dan menegakkan HAM” mereka menampung modal asing, menyalurkan aspirasi kelompok kalah. Mencari cari celah kesalahan penguasa dan menyinyiri orang orang yang sedang membangun negeri dengan menciptakan kontroversi, kegaduhan, keresahan, dan berujung rasa tidak percaya pada negara dan pemimpinnya.
Baca Juga: Yadi Heriyadi Hendriana Dewan Pers: Pak Bahlil Sudah Mengadukan Tempo
Lalu yang diharapkan semoga tiba: chaos - rusuh seperti peristiwa Mei 1998 - dan di sanalah investor global itu mengambil untung lewat saham saham perusahaan dan mata uang yang berjatuhan.
Modalnya memang besar : ratusan juta dollar yang ditanam bertahun tahun demi membusukkan ekonomi satu negara. Namun, menghasilkan 'cuan' miliaran dollar, sebagaimana pada kasus "Black Wednesday" yang menimpa Bank of England di tahun 1992, menyusul krisis moneter Asia Tenggara di tahun 1997.
"Tugas media adalah mengkritik kekuasaan," kata seorang redaktur senior sambil menandatangani kontrak dengan investor global itu. Lalu kasak kasuk dengan partai oposan dan partai kalah di pilpres pada kesempatan lainnya.
Baca Juga: Marah Sakti Siregar: Tempo vs Bahlil, Majalah Tempo Tidak Perlu Meminta Maaf
Ironi? Tidak. Itu semata mata bisnis.
Media media itu, dengan sengaja menjejali publik dengan sensasi, provokasi, konflik, dan was-was. Judul judul laporan dengan sengaja bernada sinis dan sarkastis.
Maka yakinlah - investasi dari MDIF (Media Development Investment Fund) milik George Soros sejak tahun lalu itu, bukan mengharapkan imbal balik cuan dari penjualan majalah dan iklannya - melainkan memanfaatkan ruang redaksi untuk mengolah pesan kenegatifan kepada pemerintah, pemimpinnya dan pejabatnya agar kita semua, di Indonesia ini - tak mempercayai pejabat negara dan presiden, berujung pada krisis politik dan menghancurkan ekonomi nasional.
Baca Juga: Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Persilakan Aparat Selidiki Dugaan Teror yang Menimpa Tempo
“Kami tetap independen, ” kata redakturnya berdalih. Faktanya, dari minggu ke minggu isi laporan majalahnya sama saja: nyinyir, sinis, sarkas, kebencian, meledek - dan tentu saja tidak berimbang.