DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

-000-

Kini, di era mesin, peta itu menjadi semakin canggih.

Neurosains politik mengungkap: bagian otak yang disebut amigdala—pusat rasa takut—cenderung lebih aktif pada individu konservatif. Sedangkan progresif memiliki aktivitas lebih di korteks anterior, pusat empati dan kompleksitas sosial.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Olahraga Padel Segera Naik Daun di Indonesia

Big data dan AI kini memindai jejak digital kita: dari likes media sosial hingga belanja online.Semua dapat memprediksi kecenderungan politik secara akurat.

Sementara ilmu kognitif sosial mengingatkan bahwa bias—seperti bias konfirmasi dan kesetiaan kelompok—seringkali lebih kuat daripada logika.

Tipologi politik hari ini bukan sekadar tentang partai mana yang kita pilih. Ia tentang bagaimana kita memandang dunia. Apakah kita melihat dunia sebagai tempat kompetisi atau kolaborasi? Sebagai medan perang atau taman yang bisa dirawat bersama?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tumbuh Bersama Dongeng Walt Disney

Namun, tipologi politik bukanlah kristal yang sempurna. Ia memiliki retakan halus: kecenderungan mengkotakkan manusia ke dalam kategori yang kaku. 

Padahal, jiwa manusia adalah sungai yang mengalir—dinamis, berubah oleh waktu dan pengalaman. 

Riset mutakhir menunjukkan individu  mengalami pergeseran kecenderungan politik setelah peristiwa traumatis atau transformasi spiritual. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Tuan Tanah

Selain itu, tipologi kerap mengabaikan budaya lokal. Apa yang disebut "konservatif" di Jakarta mungkin adalah "progresif" di Jeddah.  Bahkan AI sekalipun, dengan algoritmanya, bisa terjebak dalam bias data sejarah yang timpang. 

Halaman:

Berita Terkait