Pengantar Denny JA Untuk Buku 65 Puisi Esai: Kesaksian Zaman (2025)
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 16 April 2025 09:20 WIB

Di sinilah puisi esai mengambil tempatnya. Ia tidak menunggu waktu untuk memberi jarak. Ia tidak menunggu fakta didokumentasikan secara resmi. Ia mencatatnya selagi peristiwa masih berdenyut, selagi tangisan masih terdengar, selagi luka masih basah.
Seorang buruh perempuan ditemukan terbunuh setelah memperjuangkan hak-haknya. Maka lahirlah puisi esai tentang Marsinah.
Sebuah kota terbakar dalam amukan kerusuhan etnis. Puisi esai menangkap ketakutan, rasa kehilangan, dan trauma yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan statistik.
Seorang imigran di negeri asing menjadi korban kebencian yang dibangun oleh berita palsu. Puisi esai tidak hanya menuliskan faktanya, tetapi juga perasaannya, penderitaannya yang tak tertangkap oleh laporan jurnalistik biasa.
Dengan puisi esai, sejarah tidak perlu menunggu lima puluh tahun untuk dianggap pantas diceritakan. Ia bisa ditulis sekarang, saat itu juga.
-000-
Historical fiction memberi kita jarak. Ia memperindah masa lalu, membuatnya lebih mudah dicerna, membiarkan kita merenungkannya dari kejauhan.
Puisi esai, sebaliknya, tak membatasi diri menunggu 50 tahun peristiwa itu berlalu. Ia menolak untuk memberikan kenyamanan itu. Ia memaksa kita untuk juga melihat sejarah dari dekat, untuk merasakannya tanpa filter nostalgia.
Sejarah dalam historical fiction sering kali adalah kisah yang telah selesai, sudah ada akhirnya, sudah bisa direkonstruksi. Sejarah dalam puisi esai masih bergerak, masih bernafas, masih bisa berubah oleh satu kejadian lagi.
Jika historical fiction menghidupkan kembali masa lalu, puisi esai memastikan kita tidak bisa melupakan masa kini.