Puisi Esai Denny JA: Dan Lahirlah Budi Utomo
- Minggu, 19 Januari 2025 11:53 WIB
Puisi Esai Seri "Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka" (1)
ORBITINDONESIA.COM - Batavia, 1908. Di tengah gemuruh kebangkitan Budi Utomo, seorang dokter muda menghadapi dilema: hidup makmur dalam jajahan kolonial atau ambil risiko mengabdi kepada bangsanya yang terjajah.
-000-
Lelaki tua itu datang sebagai pasien.
Tubuhnya lapuk seperti kayu rapuh.
Lihatlah keringatnya,
ekspresi hari-harinya yang terampas.
Tangan kasar penuh luka,
dari tanah yang ia bajak, bukan untuknya, tapi untuk penjajah.
Di meja Soetomo, ia berbisik:
“Dokter, adakah obat untuk tanahku?
Tubuhku mungkin sembuh,
tapi negeriku berdarah.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Salman Berjumpa Tunawisma di London
“Aku sakit, Dokter,
sakitku bukan karena virus,
tapi karena ketidakadilan penjajah,
karena derita yang kupikul.
Kau tak bisa sembuhkan aku
hanya dengan obat biasa.
Sembuhkan aku dari penindasan.
Dari ketidakadilan.”
Pasien itu menangis,
pelan dan dalam.
Air matanya menjadi percik api,
membakar daun kering di hati sang dokter muda.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Sebagai Imigran, Ia Masih Luka
Itulah awal api yang menyala.
Dokter Soetomo diam merenung.
“Tak ada kekuatan yang lebih dahsyat daripada pikiran-pikiran yang berpadu.
Ia api yang tumbuh menjadi kobaran besar, membakar belenggu penjajahan demi kebebasan bangsanya.”
Baca Juga: Puisi Esai dan Panggilan Cinta
Catatan itu ditulis oleh Darta,
ketika ia merapat ke sana, sebagai asisten Dr. Soetomo.
Di balik tembok-tembok putih rumah sakit kolonial,
Darta melihat dokter muda,
berdiri dengan tatapan tajam namun ragu.
Dr. Soetomo, ia dipanggil.
Sejak saat itu,
renungan kemerdekaan selalu mengganggunya.
Tangannya terampil, pikirannya cerdas,
diberi jalan keemasan oleh tangan penjajah,
namun jiwanya terantuk pada jerit rakyat yang terabaikan.
Saat itu, di sekolah-sekolah,
Dr. Wahidin berkeliling, suaranya menyusup lembut, membawa gagasan kemerdekaan,
ilmu pengetahuan, dan persatuan sebagai cahaya baru.
Soetomo tersentuh oleh Dr. Wahidin.
Bukan pedang, tapi pendidikan yang menyalakan api kebangkitan.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Anak Palestina Itu Menulis Surat untuk Ibunya yang Hilang
Malam-malam Dokter Soetomo adalah perpustakaan yang luka.
Ceramah Dr. Wahidin menjadi buku kedua.
Penderitaan pribumi itu buku pertama.
Dan kabar kemerdekaan aneka negeri jauh di seberang lautan sana menjadi halaman terakhir.
Di malam sunyi, dokter itu merenung:
“Apakah pengetahuanku hanya sekadar layar
untuk perahu bangsa penjajah?
Ataukah ia menjadi obor
yang menyala untuk bangsaku yang terjajah?”
Ia tahu, langkahnya bisa berujung tiang gantung,
namun hatinya adalah tambang api,
membakar dirinya perlahan,
hingga kemerdekaan lahir
atau dirinya hangus.
Batavia, 1908—di bawah langit berdebu,
gedung-gedung kolonial menjulang angkuh,
Dr. Soetomo sekali lagi merenung.
“Aku, dokter bagi mereka yang tak bersuara,
bagi mereka yang terluka di negeri sendiri.”
Hari itu, ia memilih jalan yang sulit,
jalan ketika hati dan nurani bersatu,
jalan tempat pengabdian lebih berharga daripada hidup nyaman.
“Aku dokter, tak hanya sembuhkan raga pasien,
tapi pulihkan pula bangsaku yang sakit, yang terjajah.”
Batavia menyaksikan perjalanan hidupnya.
Ia mengukir sejarah.
Ia tak ingin menjadi batu di pilar kolonial, melainkan tetesan embun yang diam-diam menyuburkan tanah bangsa,
yang menghidupkan pagi.
Lalu berdirilah Budi Utomo.
Badan pertama kaum terpelajar pribumi.
1.200 anggotanya menyalakan lilin,
di tengah gelap penjajahan.
Sejarah baru mulai ditulis.
Jalan menuju merdeka, dimulai.
Darta menjadi saksi.
Kobaran besar yang dinyalakan seorang dokter muda, Dokter Soetomo.
Jakarta, 19 Januari 2025 ***
(1) Puisi esai ini diinspirasi kisah hidup Dr.Soetomo ketika membangun Budi Utomo.