DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Kebudayaan: Menjadi Gubernur Kebudayaan di Sumatra Barat

image
Sastri Bakry, pegiat kebudayaan Sumatra Barat (Foto: rakyatsumbar.id)

Saya, boleh dikata sangat dekat dengan kadis ini. Kedekatan sebagai sahabat yang mulutnya bisa saling langsung-langsung saja. Banyak orang yang tahu soal itu, sehingga ada pula yang curiga saya mendapatkan bantuan kegiatan/ dana dari Dinas Kebudayaan. 

Beberapa kali saya mendatangi kantornya dan beberapa kali kolaborasi (memfasilitasi tempat di gedung kebudayaan). Meski sering kali acara di situ membuat kecewa, terakhir ketika Konsul Jenderal Tiongkok dan delegasi China dan Malaysia hadir dalam Seminar Menelusuri Jejak Penulis Yu Dafu.

Gedung Kebudayaan kotornya minta ampun, kursi yang bablas, AC yang tidak dingin, toilet yang tidak layak, padahal panitia sudah wanti-wanti sekali. Sehingga Andreas Sofiandi, Toako HBT yang ikut mencek tempat hingga ke toilet marah sekali pada saya. 

Baca Juga: Sastri Bakry: Anugerah Penyair Prolifik

Saya agak bingung juga, di awal tugas Jefrinal mengkritik habis Dinas Kebudayaan yang kotor, tapi di eranya justru lebih kotor. Saya menyimpan itu semua karena alasan subjektif.  Dia teman saya jadi aibnya mesti saya simpan. Apalagi serangan padanya bertubi-tubi. Dari dalam unit kerjanya mau pun dari luar, termasuk seniman yang merupakan mitra kerja yang mesti dirawatnya.

Suara-suara seniman itu patut didengarkan, tak boleh saya mengabaikan atau seolah-olah baik- baik saja. Tidak fair lah. Karena itu saya ingin berhadapan langsung dengannya untuk menyampaikan isu yang berkembang dan pemetaan risiko jika tak tertangani dengan baik isu-isu kebudayaan. Jika bersama dibicarakan pasti ada solusi dari kegelisahan seniman. 

Awalnya penyampaian saya dengan ketawa-ketawa, bahkan saya juga tak membenarkan seniman yang hanya mengritik tanpa solusi. Ada hal-hal yang perlu saya bicarakan soal kegiatan kebudayaan, terutama fasilitas sarana prasana untuk berkarya.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Sastri Bakry: Ajang Kesenian dan Budaya Itu Bukan Cuma Mengajukan Proposal

Apalagi ketika seorang Mmusisi, Ioqo Alhamra, mengeluh tak bisa dipinjamkan tempat untuk latihan di gedung kebudayaan. Ia bahkan ditolak secara halus, dengan menyarankan untuk mengajukan surat permohonan peminjaman ke gubernur. Padahal yang dipinjamnya hanyalah sesudut kecil ruang untuk latihan musik anak- anak. 

Ioqo Alhamra ini kenal baik dengan gubernur, tapi minta pendapat saya yang sudah dianggapnya seperti orang tua, toh bisa saja dia langsung "mangadu" ke buya. Memang aneh, untuk keputusan pinjam tempat kecil saja harus persetujuan gubernur. 

Saya awalnya kurang percaya soal Kadis tak mau memfasilitasi gedung kebudayaan untuk peristiwa kebudayaan. Namun banyak keluhan lainnya dari seniman maupun staf di Dinas Kebudayaan. Misalnya, soal arogansi kekuasaan, soal feodalisme, soal tidak adil, soal percaya dengan pengaduan, soal tidak objektif, soal baper, soal tidak peduli peristiwa kebudayaan.

Baca Juga: Sastri Bakry dan Vani Talenta Tampil pada Pertemuan Para Penulis dan Pemikir Dunia di India

Wah, menurut saya itu parah. Bukankah kebudayaan itu segala hal berkaitan dengan hasil cipta, karsa, dan karya serta adab perilaku manusianya? Membangun peradaban dimulai dari  jiwa, perilaku dan tingkah laku. Jika hal mendasar saja belum duduk, bagaimana kita akan bicara soal ide, soal kreativitas, soal inovasi apalagi kolaborasi strategik, program dan kegiatan? 

Halaman:

Berita Terkait