DECEMBER 9, 2022
Kolom

Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

image
Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) (Foto: ANTARA)

Oleh TM Luthfi Yazid

"Fiat justitia ruat caelum. Keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh."

Pernyataan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus  pada 43 SM, atau 2067 tahun lalu itu, sampai kini masih relevan. Bahkan masih menjadi cita-cita umat manusia di seluruh dunia. 

Baca Juga: TOK! Mahkamah Agung Tolak Peninjauan Kembali Moeldoko dalam Sengketa Kepengurusan Partai Demokrat

Bagaimana dengan Indonesia, negeri yang didirikan di atas fondasi hukum? Tampaknya masih jauh dari kalimat aksiomatis Lucius yang diucapkan 21 abad lalu tersebut. 

Pemilihan Ketua Mahkamah Agung (KMA) baru, berlangsung Selasa, 15 Oktober 2024. KMA baru menggantikan Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin, S.H., M. H yang purna tugas 17 Oktober 2024. 

Di moment peralihan kepemimpinan nasional ini, eksistensi MA yang taat hukum, taat etika dan moral konstitusi menjadi sangat krusial untuk menjadi landasan perjalanan bangsa ke depan. Jangan pernah terjadi lagi orkestrasi perselingkuhan hukum yang melibatkan MA dan Istana seperti terjadi belum lama ini.

Baca Juga: Mahkamah Agung Sunat Denda Koruptor Surya Darmadi Jadi Rp2 Triliun, Awalnya Rp42 Triliun

Betul, peristiwa pemilihan KMA dilaksanakan secara rutin tiap lima tahun. Tapi harus dicatat bahwa pemilihan KMA adalah sebuah momentum penting bagi bangsa dan negeri yang konsistensi hukumnya masih acakadut seperti Indonesia.  Apalagi pemilihan KMA kali ini terjadi hanya lima hari menjelang pergantian presiden dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto. 

Dalam konteks ini, MA harus menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Artinya, MA sebagai pilar yudikatif dalam konstruksi negara hukum, harus benar-benar netral dan suci dari intervensi eksekutif. Jika tidak, sebagai negara hukum, Indonesia akan ambruk. 

Beredar beberapa nama yang disebut-sebut pantas mencalonkan diri menjadi nakhoda  MA dalam lima tahun ke depan. Mereka adalah Wakil Ketua MA Bidang Yustisial Dr. Sunarto, S.H., M.H; Wakil Ketua MA Non-Yustisial Suharto, S.H., M.Hum; Hakim Agung Dr. Yulius, S.H., M.H; Hakim Agung Prof. Dr. Haswandi, S.H., S.E., M.Hum, M.M.; dan Ketua Kamar Pidana Dr. Prim Haryadi, S.H., MH.

Baca Juga: Selasa Besok, KPU Akan Serahkan Tambahan Alat Bukti ke Mahkamah Agung pada Sidang Lanjutan PHPU Pilpres

Ketua MA dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 1 Keputusan KMA Nomor 007/KMA/SK/I/2009 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) yang dilakukan oleh satu Panitia Pemilihan. Jumlah Hakim Agung saat ini sekitar 46 – 50 orang sudah termasuk para pimpinan MA. 

Dalam kondisi "transisi politik" yang perjalanannya tertatih-tatih sejak 2023 karena intervensi eksekutif yang amat kental, seleksi Ketua MA harus mengedepankan check and balance. Ini penting untuk mewujudkan negara hukum serta terciptanya kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945).

Dalam Pasal 24 (1) UUD 1945 disebutkan pula bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka. Ini artinya, seorang hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh terpengaruh atau diintervensi oleh siapa pun. Kecuali oleh akal dan nuraninya sendiri!

Baca Juga: Lolly Suhenty: Bawaslu RI Hormati Putusan Mahkamah Agung tentang Batas Minimal Usia Calon Kepala Daerah

Ini penting agar hakim dapat menjalankan kekuasaannya secara bebas dan merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Hal inilah yang menjadikan kedudukan seorang hakim sangat strategis dalam mewujudkan negara hukum. Karena tataran ini pula negara memiliki kewajiban menjamin kesejahteraan dan keamanan mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.

Dari aspek inilah, KMA yang baru harus didukung oleh seluruh institusi penegak hukum. Agar MA benar-benar menjadi tumpuan para pencari keadilan (justice seeker). Karena itu para hakim harus memiliki integritas, bersih, dan anti gratifikasi-korupsi.

Baca Juga: Komisi Yudisial: Putusan Batas Usia Mahkamah Agung Tak Akan Terpengaruh Hasil Pemeriksaan KY

Bagaimana pun hakim memiliki kekuasaan yang menentukan. Sehingga tanpa didukung oleh masyarakat dan terutama negara dari segi kesejahteraan dan keamanan, maka bukan tidak mungkin banyak hakim yang akan tergoda!  Tergoda untuk tidak bersikap mandiri dan  independen dalam mewujudkan free and impartial tribunals.

Saat ini, kondisi hukum di Indonesis tidak sedang baik-baik saja. Berdasarkan data World Justice Project (WJP), skor Indeks Negara Hukum atau Rule of Law Index (RLI) Indonesia masih berada di angka 0,53  pada 2023. Nilai tersebut tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Skor RLI tersebut menempatkan Indonesia di posisi 66 dari 142 negara di dunia. Kenapa demikian? 

Ini disebabkan oleh banyak faktor seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran etik institusi hukum, Kepolisian, KPK, dan proses legislasi yang tidak melibatkan partisipasi publik. Karena itu kita berharap, KMA yang akan "memimpin" mahkamah memenuhi 7 kriteria. 

Baca Juga: Ketua Mahkamah Agung Bangladesh Obaidul Hassan Mundur di Tengah Aksi Protes Mahasiswa

Pertama, memiliki integritas yang baik, dibuktikan dengan rekam jejak yang tidak bermasalah secara hukum. 

Kedua, memiliki kapabilitas dan leadership sebagai Ketua MA.

Ketiga, memiliki kemampuan berpikir hukum yang baik karena KMA bertanggungjawab untuk melakukan koreksi atas semua putusan di tingkat judex factie.

Baca Juga: Mahkamah Agung Vonis Bebas Mujianto Terpidana Korupsi Kredit Macet Rp39 Miliar di Medan, Sumatra Utara

Keempat, dapat menjadi teladan (role model) alias menjadi contoh dan panutan bagi para hakim lainnya di seluruh Indonesia, baik secara profesi maupun moral.

Kelima, mengayomi seluruh insan peradilan di seluruh Indonesia dan dapat menjamin bahwa setiap lembaga peradilan di seluruh Indonesia adalah tempat menambatkan harapan keadilan.

Keenam, profesional dan independen dalam menjalankan tugasnya serta dapat membangun keadaan yang menjadikan mereka yang papa, lemah atau less in power tidak ciut hatinya ketika mencari keadilan di lembaga peradilan.

Baca Juga: Pimpinan MPR 2024-2029 Dilantik Mahkamah Agung: Ahmad Muzani Selaku Ketua

Ketujuh, seorang Ketua MA harus punya wisdom (kearifan yang tinggi) dan karenanya ia harus sudah selesai dengan dirinya, dan apa yang dia tinggalkan kelak akan menjadi legacy.

Pada prinsipnya seorang hakim itu tidak punya kepentingan apa pun! Kecuali membuat putusan yang berkualitas dan berpihak pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice).

Kita, rakyat Indonesia berharap pemilihan pimpinan MA yang baru berlangsung secara demokratis dan damai. Sesuai dengan hati nurani  para Hakim Agung yang memilih. Semua ini, semata-mata, demi terwujudnya keadilan bagi semua. Justitia Omnibus.

Baca Juga: MAKI Sebut Tak Ada Alasan Bagi Mahkamah Agung Terima PK Mardani Maming, Kasus Korupsi Izin Pertambangan

Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI). ***

Berita Terkait