Oleh sebab itu, ketika para wartawan telah berselingkuh dengan para penguasa, sebagaimana dalam kasus PWI – Kementerian BUMN, maka dapat dipastikan korupsi tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Faktanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibentuk sejak lebih dari 20 tahun lalu, namun korupsi tidak kunjung berakhir. Bahkan yang terjadi malah sebaliknya, korupsi semakin meraja-lela. Ini menunjukkan bahwa perilaku korupsi terus berkembang pesat, baik dari sisi jumlah pelaku maupun kualitas modus operandi serta nominal dana yang dikorupsi.

Ajaibnya, korupsi juga tumbuh subur di lingkungan lembaga anti rasuah bernama KPK itu. Korupsi dilakukan oleh hampir semua personel, mulai dari pimpinan puncak hingga ke staf penjaga sel tahanan KPK. Nominal bervariasi, namun angkanya bikin kita bergidik geleng kepala.

Baca Juga: Tessa Mahardika Sugiarto: KPK Geledah Tiga Rumah Terkait Dugaan Korupsi di Perusahaan Gas Negara

Dengan kondisi ini, bagaimana mungkin korupsi dapat dihilangkan, atau minimal berkurang, tatkala lembaga ad-hoc yang diharapkan memberantas korupsi justru terseret arus ikut melakukan korupsi?

Pertanyaan seriusnya adalah mengapa gerombolan manusia di kedua lembaga itu, PWI dan KPK, dapat terjerembab dengan mudah ke kubangan korupsi? Kata Ebiet, tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Tapi, tidak sesederhana itu Kang Ebiet. Sebab ketika pagar-pagar memegang kekuasaan, niscaya mereka menjelma jadi pemangsa tanaman yang dijaganya. Dan rumputpun diam tak mampu menjawab sekatapun.

Baca Juga: Solo yang Dipimpin Gibran Rakabuming Raka Dijadikan Percontohan Kota Antikorupsi Oleh KPK

Tersebab moralitas hilang dari badan oleh kekuasaan ( power ), jangankan hartanya, tinja temannya pun akan mereka tilap hingga tandas. Itulah kondisi darurat korupsi terparah yang siap hancurkan negeri ini berkeping-keping sebentar lagi. 

*Wilson Lalengke adalah jurnalis warga anti korupsi garis keras. ***