Shamsi Ali Al-Kajangi: Donald Trump: I Am Back!
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 17 Juli 2024 09:10 WIB
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
Rencana pilpres di Amerika hari-hari ini telah ada pada tataran puncaknya. Suasana kampanye untuk mendukung dan memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden negara adidaya ini semakin panas.
Serang menyerang antara kandidat dan para pendukungnya, sebagaimana juga lazimmya pilpres di Indonesia, semakin tajam. Masing-masing memposisikan diri pada posisi yang terbaik dan yang lainnya kurang bahkan tidak sesuai dengan harapan Amerika.
Baca Juga: Siapa Sebenarnya Thomas Matthew Crooks, si Penembak Beruntun Mantan Presiden AS Donald Trump
Walaupun keduanya memilki pengalaman yang sama sebagai mantan dan (incumbent) Presiden, kedua kandidat memiliki latar belakang yang sangat kontras. Kita mengenal Presiden Biden adalah politisi ulung dengan pengalaman panjang di Senat. Bahkan ketika terpilih pertama kali dia terpilih sebagai Senator termuda pada masanya. Pernah menjadi Wakil Presiden Obama dua periode dan kini sebagai Presiden satu priode.
Sementara itu Donald Trump walau memiliki latar belakang politik sebagai Presiden satu periode, dia sama sekali tidak memilki latar politik yang solid. Modal terbesar yang dimiliki oleh Donald Trump adalah popularitas sebagai pebisnis yang artis.
Artinya secara finansial bisnis Donald Trump tidak ada apa-apanya dibanding dengan pebisnis besar lainnya, seperti Elon Musk, Bill Gates, Warren Buffet, Jeff Bezos, bahkan Michael Bloomberg. Modal terbesar Donald Trump adalah akses media sebagai artis dengan beberapa show. Apprentice dan Miss Universe misalnya adalah dua acara TV Donald Trump yang paling populer.
Baca Juga: Perkembangan Terakhir Investigasi Penembakan Mantan Presiden AS Donald Trump, Berikut Ini Datanya
Tapi sebenarnya yang paling menguatkan Donald Trump dalam pencalonan ini adalah sentimen kaum putih (white supremacy) yang semakin benci kepada warga non Putih di Amerika Serikat. Dengan kata lain, modal terutama Donald Trump untuk memenangkan pertarungan ini adalah rasisme warga putih. Hal ini dimungkinkan karena Donald Trump memang berani menyampaikan secara terbuka penolakannya kepada immigran dari Dunia non putih.
Sebenarnya jika kita lihat lebih dekat kemenangan Donald Trump pada pilpres di saat melawan Hillary Clinton merupakan gambaran kemarahan warga Amerika atas kemenangan Barack Obama sebelumnya.
Dia seorang warga hitam yang dianggap terlalu identik dengan immigran dan minoritas. Bahkan dituduh sebagai Muslim terselubung karena ayahnya seorang Muslim (dari Kenya) dan pernah tinggal di Indonesia. Semua ini menjadi dorongan bagi menaiknya rasisme yang menjadi faktor kemenangan Donald Trump pada pilpres ketika itu.
Secara umum memang bagi masyarakat imigran minoritas, khususnya komunitas Muslim, rasisme Donald Trump ini yang menjadi “biggest concern”. Tidak saja paket kebijakan publik yang pernah (atau akan) diambil sebagai Presiden.