Syaefudin Simon: Budhy yang Budhis
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 16 Juli 2024 23:44 WIB
Dasar samudera dapat kulihat dengan mata terpejam
Rahasianya dapat kudengar dari ombak yang berdenyut ke tepian
Tapi Sang Buddha seperti batu di Kuil Raja
Yang tidak ingin diketahui
Maka aku menyebutnya sebagai Nabi yang masa bodoh
Guru spiritual yang nyentrik yang tidak ingin
punya pengikut
Yang tidak membawa-bawa rantai dan palu untuk menghukum umatnya
Sebelum menjadi batu di Kuil Raja itu
Sang Buddha telah menempuh perjalanan spiritual yang sangat jauh
Meninggalkan kenikmatan duniawi
Mencari kedamaian dan kebenaran
Sampai akhirnya Dia menemukan jawaban dari setiap pertanyaannya — dalam diam
Dalam diam
Maka Sang Buddha membiarkan orang-orang menjadi diri mereka sendiri — hanya dengan diam
Tidak menyuruh mereka pergi ke rumah ibadah
Tidak meminta mereka melafalkan mantra
atau doa tertentu
Apalagi mengajak orang untuk berperang
atas nama kebenaran — mungkin itu terdengar menggelikan di telinganya
Baca Juga: HEBOH, Kuil Buddha di Thailand Dibiarkan Kosong karena Seluruh Biksu Positif Narkoba
Aku geleng-geleng kepala
Kok ada Nabi yang seperti itu
Kok bisa guru agama hendak membebaskan manusia dari kungkungan agama
Apakah agama sudah begitu bebal?
Mengurung manusia dalam penjara yang indah atas nama hukum dan moralitas?
Merantai mereka sehingga tidak bisa mengepakkan sayap-sayapnya ke langit?
Apakah agama mencegah manusia menjadi dirinya sendiri, dengan memberi mereka topeng kesalehan?
Apakah agama telah menjadi begitu keras dan fanatik?
Aku yakin Sang Buddha tidak akan tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu
Dia hanya tertarik untuk duduk-diam
Dia memang menjengkelkan
Tidak bicara, tidak punya keinginan
Tanpa tujuan, tanpa kerinduan pada apapun
Dia hanya menikmati keberadaan dalam sunyi yang abadi
Tapi sungguh aku terkejut
Dalam duduk-diam di ruang sunyi itu
Ribuan bunga teratai bermekaran
Baca Juga: Budhy Munawar Rachman: Sekolah dan Lembaga Pendidikan Justru Mendorong Keberagamaan yang Eksklusif
Aku mulai merasa malu dengan berbagai tuduhan yang kualamatkan kepada Sang Buddha
Kata-kataku yang kasar kepadanya hanya pantulan dari alam bawah sadarku
Yang gemar mencaci-maki
Sebab aku terbiasa menyeru Tuhan dengan suara yang keras
Dengan pelantang
Aku tidak tahu apakah ada yang lebih penting dari ajaran diam
Ketika peradaban agama semakin berisik seperti pasar malam
Sang Buddha mengajarkan bahwa dengan duduk-diam
Dalam keheningan
Dalam kekosongan
Di sana ada keabadian
Dan manusia dapat menemukan wujud kosmiknya di alam semesta
Seperti kesadaran bunga teratai yang muncul di permukaan air telaga
Mekar ke dunia
Melambangkan pencerahan
Aku pun menjelma seekor burung
Agar dapat terbang ke tengah telaga
Untuk meraih bunga itu
Tapi sayang, cakar-cakarku melukainya
Hingga bunga itu berguguran
Helai demi helai
Hancur dan lebur ke dalam lumpur
Seperti diriku yang hancur lebur
Di hadapan Sang Buddha