Korupsi, Nilai Agama dan Kompartementalisasi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 02 Juli 2022 18:55 WIB
Baca Juga: Diskusi Satupena, Inda Citraninda Noerhadi: Sejarah Seni Rupa Indonesia Seolah Hanya Milik Pria
Mekanisme ini digunakan si pelaku untuk menghindari ketidakcocokan kognitif, ketidaknyamanan mental, atau kecemasan, yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai, emosi, keyakinan, dan sebagainya, di dalam dirinya sendiri.
Konflik nilai-nilai di dalam diri tentulah akan muncul, jika Anda terlibat dalam situasi sebagai berikut: Pada pagi hari, Anda sebagai dosen mengajarkan etika dan moralitas kepada mahasiswa di dalam kelas.
Sedangkan malam harinya, Anda sudah berjanji bertemu dengan rekanan swasta untuk menerima suap darinya. Anda dibayar agar “memainkan” tender, sehingga proyek dari lembaga pemerintah tempat Anda bekerja bisa dipastikan akan diperoleh oleh rekanan swasta tersebut.
Kompartementalisasi memungkinkan ide-ide dan nilai-nilai yang bertentangan ini untuk sama-sama hadir. Tetapi ide-ide dan nilai-nilai itu seolah-olah ditempatkan dalam kotak atau kamar (kompartemen) terpisah yang berbeda-beda.
Baca Juga: Diskusi Satupena, Denny JA: Karya Seniman Perempuan Sejak Dulu Sering Diabaikan
Sehingga, seakan-akan tidak ada interaksi eksplisit atau benturan langsung antara nilai-nilai yang bertentangan tersebut. Dengan demikian, orang itu menjalani berbagai perilaku yang tampak seperti tidak berhubungan satu sama lain.
Ketika saatnya harus berkotbah soal moral, atau mengajarkan tentang perlunya etika dan perilaku bersih di pemerintahan, ia bisa bicara sangat fasih. Bahkan ia bisa mengutip ayat-ayat kitab suci atau ucapan bijak lain.
Tetapi pada saat melakukan korupsi, ia pun bisa melakukannya dengan mulus sedemikian rupa. Seolah-olah ia tidak pernah mendengar atau tak pernah tahu tentang etika birokrasi dan moralitas.
Kompartementalisasi berbeda dengan rasionalisasi (rationalization), yang dikenal juga dengan istilah “membuat dalih.” Seperti kompartementalisasi, rasionalisasi juga merupakan mekanisme pertahanan psikologis yang tak sadar.
Baca Juga: Kapolda Lampung Menerima Hoegeng Awards 2022 Kategori Polisi Berintegritas
Dalam rasionalisasi, perilaku atau perasaan yang dipandang kontroversial dicarikan dalih pembenarannya secara logis dan seolah-olah rasional. Tujuan rasionalisasi adalah justru untuk menghindari penjelasan yang sebenarnya.
Rasionalisasi membuat agar dalih itu secara sadar bisa ditoleransi atau diterima lewat cara-cara yang “masuk akal.” Rasionalisasi ini sebenarnya merupakan suatu bentuk kekeliruan penalaran. Rasionalisasi ini mendorong perilaku, motif, atau perasaan yang irasional dan tak bisa diterima.
Misalnya, seorang pejabat yang menerima suap dari rekanan swasta bisa berdalih: “Kalau uang itu tidak saya terima, rekanan swasta toh juga sudah menyetor uang ke atasan saya. Sehingga tetap saja proyek pemerintah ini akan jatuh ke tangannya. Jadi, apakah uang itu saya terima atau tidak saya terima, tidak berpengaruh pada penunjukan tender proyek tersebut.”
Dengan memahami mekanisme kompartementalisasi dan rasionalisasi ini, tidak lantas bisa menyelesaikan masalah korupsi dengan mudah, karena banyak faktor yang menyebabkan munculnya perilaku korupsi.
Namun, dengan pemahaman yang lebih baik, semoga bisa membantu upaya pemberantasan korupi di negeri tercinta ini.