Korupsi, Nilai Agama dan Kompartementalisasi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 02 Juli 2022 18:55 WIB
ORBITINDONESIA - Banyak orang terkaget-kaget, ketika seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi ternama ditangkap basah oleh petugas badan antikorupsi dengan tuduhan korupsi dan menerima suap. Dosen itu dari tampilan luar sebelumnya dikenal sebagai seorang yang baik, sederhana, santun, idealis, berintegritas.
Kalau tidak ada bukti konkret, berupa tumpukan uang senilai miliaran rupiah yang disita di lokasi penangkapan, berita itu rasanya sulit dipercaya. Kasus yang “sulit dipercaya” semacam ini bukanlah hal baru.
Dalam kasus lain, juga ada tokoh politik yang dikenal religius, rajin beribadah, sering bicara antikorupsi, bahkan fasih mengutip ayat-ayat kitab suci. Ia juga ditangkap petugas dengan tuduhan terlibat korupsi.
Baca Juga: Dunia Literasi dan Donald Trump
Berbagai kasus korupsi lain juga telah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kementerian yang berurusan dengan agama dan pendidikan. Ini dua bidang yang sepatutnya menjadi tonggak atau teladan penegakan etika birokrasi dan moralitas.
Yang membuat bingung dan sulit dipahami masyarakat adalah, bagaimana bisa terjadi kontras yang begitu tajam dan secara logika sulit dipertemukan. Seperti, seseorang yang tekun beribadah, setiap hari –minimal secara formal—selalu menyembah Tuhan. Tetapi kok pada saat yang sama juga melakukan korupsi?
Bukankah korupsi, sebagaimana juga mencuri dan merampok, adalah tindakan terlarang dan tercela di mata Tuhan, dan bertentangan dengan ajaran semua agama?
Bagaimana pula seorang dosen, guru, pendidik, yang setiap hari mengajarkan hal-hal yang penuh idealisme dan nilai-nilai moral pada mahasiswanya, tetapi pada saat yang sama juga aktif melakukan korupsi? Bukankah tindak pidana yang dilakukannya itu bertentangan langsung dengan idealisme dan nilai-nilai moral yang ia ajarkan?
Baca Juga: In Memoriam: Tjahjo Kumolo, Digital Leader dan Teman yang Loyal
Belum lama ini juga ada kasus, seorang Irjen polisi menjadi narapidana karena terbukti menerima suap senilai sekitar Rp 7 miliar. Di dalam rumah tahanan, dia menganiaya seorang tahanan kasus penistaan agama, yang belum diadili.
Perwira tinggi polisi ini berdalih, penganiayaan itu (walau dia sangat tahu bertentangan dengan aturan hukum) sengaja dilakukan untuk “membela agama” yang dianutnya.
Tetapi, ketika menerima suap Rp 7 miliar, apakah dia tidak menganggap itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya? Ini juga contoh perilaku yang “membingungkan” masyarakat yang berpikir waras.
Di dalam ilmu psikologi, fenomena yang membingungkan itu dapat dijelaskan dengan teori kompartementalisasi (compartmentalization). Kompartementalisasi adalah suatu mekanisme pertahanan psikologis yang tidak disadari.