DECEMBER 9, 2022
Internasional

240 Warga Indonesia yang Dijebloskan ke Penjara Australia Dapat Kompensasi 27,5 Juta Dolar

image
Ali Yasmin, penggugat utama dalam guggatan kelompok ‘class action’ (kedua dari kiri) bersama Colin Singer, Permerhati Keadilan ‘Justice of the Peace’ di Australia (kedua dari kanan) dan Mark Barrow, Administrator ditunjuk oleh Pengadilan Federal Australia (paling kanan) memberikan keterangan terkait kompensasi dan tindakan peradilan tidak sah terhadap anak-anak warga Indonesia oleh Australia pada konferensi pers di Kuta, Badung, Bali, Jumat (19/1/2024). ANTARA/Rolandus Nampu

ORBITINDONESIA.COM - Sebanyak 240 warga negara Indonesia (WNI) yang dijebloskan ke penjara Australia mendapatkan kompensasi sebesar 27,5 juta dolar Australia.

Kompensasi diberikan, setelah warga Indonesia tersebut dinyatakan bebas dari hukuman atas tuduhan penyelundupan manusia.

Hal tersebut diungkapkan Chairman Indonesia International Intiatives Colin Singer, Senior Lawyer Ken Cush & Associetes Caitlin O`Brien, Mark Barrow seorang administrator yang ditunjuk Pengadilan Federal Australia, Sam Tierney pengacara dari Kantor Ken Cush and Pathner .

Baca Juga: TNI AL Lhokseumawe Aceh Tangkap Penyelundup dan Barang Bukti 45 Kilogram Sabu

Mereka bicara di konferensi pers di Kuta, Denpasar, Bali, Jumat, 19 Januari 2024 kepada awak media.

Ratusan WNI tersebut merupakan mantan narapidana yang dahulunya dipenjara oleh Polisi Federal Australia atas tuduhan penyeludupan manusia dengan menggunakan kapal-kapal.

Namun, pidana tersebut kemudian dinyatakan tidak sah berdasarkan keputusan pengadilan, karena usia WNI tersebut semasa menjalani hukuman masih berstatus sebagai anak dan tidak sah untuk dipidana layaknya orang dewasa.

Baca Juga: Rawan Penyelundupan Lewat Perairan, Poles Asahan Sumatra Utara Gelar Patroli Laut

Colin Singer yang merupakan pemerhati keadilan asal Australia mengatakan, uang 27,5 juta dolar Australia tersebut diberikan Pemerintah Australia atas keputusan Pengadilan Federal Australia pada 22 Desember 2023.

Ini sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa.

Pengadilan melihat jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota gugatan kelompok (class action).

Baca Juga: TNI AL Gagalkan Penyelundup Ratusan Botol Black Jack dan Labour Asal Malaysia di Sebatik Kalimantan Utara

Pengadilan pun telah menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush & Associates untuk mengelola skema distribusi kompensasi tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan.

Timnya telah mengunjungi Kupang, Pulau Rote dan Alor dalam tiga bulan terakhir untuk memproses kompensasi para anggota kelompok tersebut.

"Ini pekerjaan yang sulit karena anak-anak ini tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Mereka (anak-anak bekas tahanan) dibebaskan setelah departemen kehakiman yang memutuskan mengembalikan mereka ke Indonesia," kata Colin.

Baca Juga: Bea dan Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta Gagalkan Penyelundupan Obat Tradisional Ilegal ke Kyrgyzstan

Sementara itu, Sam Tierney menjelaskan, sebagian besar pemohon yang terlibat dalam gugatan kelompok (class action) ditahan di Pulau Christmas atau di Darwin, Australia Barat, pada tahun 2009 dan 2012.

Mereka ditahan sesaat setelah tiba di Australia dengan menggunakan kapal penyelundup manusia.

Dia mengatakan, berdasarkan penelusuran dan investigasi yang mendalam terhadap ratusan tahanan yang masih anak-anak, umumnya mereka dibujuk untuk bekerja sebagai anak buah kapal ketika masih anak-anak.

Yakni, dengan tawaran pekerjaan sebagai koki di kapal, tanpa mengetahui bahwa mereka diperalat oleh jaringan penyelundup manusia.

Berdasarkan hukum Australia pada saat itu, setiap awak kapal yang ditemukan berusia anak-anak harus dikembalikan ke negara asalnya, namun anak-anak itu malah menghadapi tuntutan hukum.

Ali Yasmin salah satunya menceritakan, saat dirinya ditahan oleh Polisi Federal Australia dia masih berusia 13 tahun, karena memasuki Australia dengan perahu yang membawa pencari suaka asal Afganistan.

Dia adalah salah satu dari banyak anak Indonesia yang dituntut oleh pihak berwenang Australia antara tahun 2007 dan 2013, dan dianggap dewasa dengan menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis mereka.

Meskipun Kepolisian Indonesia telah mengirimkan salinan sah akta kelahiran Ali Yasmin ke Polisi Federal Australia pada 12 Oktober 2010, Ali Yasmin pada Desember 2010 dijatuhi hukuman lima tahun penjara sebagai orang dewasa.

"Karena memasuki Australia dengan perahu yang mengangkut pencari suaka, saya dan para ABK ditahan oleh pihak berwenang Australia dan mereka menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis kami. Saat itu, saya dianggap berbohong dan mereka memalsukan tanggal lahir saya dengan menyatakan bahwa saya berusia 19 tahun," kata Ali Yasmin.

Pada 17 Mei 2012, Jaksa Agung Australia mengumumkan pembebasan WNI dari penjara sehingga pada 18 Mei 2012, Ali Yasmin bisa pulang ke Indonesia.

Pada tahun 2017, Pengadilan Banding di negara bagian Australia Barat menyatakan telah terjadi kegagalan dalam mencapai keadilan (miscarriage of justice).

Karena itu, keputusan tersebut membatalkan hukuman tersebut dan seluruh hakim dengan suara bulat menyetujui bahwa Ali Yasmin harus dibebaskan.

Pada tahun 2018, Yasmin memulai gugatan kelompok (class action) untuk kompensasi atas dirinya sendiri,dan atas nama anak-anak Indonesia lainnya.

Pada tanggal 22 Desember 2023, Pengadilan Federal Australia memutuskan untuk memberikan uang sebesar $27,5 juta dollar Australia sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa.

Pengadilan menilai jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota class action.

Pengadilan menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush & Associates, untuk mengelola skema distribusi kompensasi tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan.***

Sumber: Antara

Berita Terkait