Hendrajit: Perempuan Batu, Novel Karya Tariq Ali yang Memikat
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 13 Januari 2024 14:27 WIB
Namun pada saat yang sama enggan untuk meninggalkan kenikmatan dan hak2 istimewa lingkaran elit pemerintahan maupun sistem kerajaan yang sarat dengan budaya feodalisme.
Sebagai orang yang dididik secara barat, Iskander dan Mehmed kalau mengikuti kata hatinya, mengakui bahwa kekhalifahan sedang sekarat dan dalam jalan menuju keruntuhan.
Namun sebagai wakil dari klas elit lingkar dekat Sultan, enggan untuk mengakui secara terang-terangan karena tidak mau ambil resiko, tapi juga menikmati hak-hak istimewanya.
Melalui salah satu karakter novel ini, Selim yang merupakan cucu dari salah seorang tukang cukur Iskander, selain mewakili generasi muda Turki di peralihan akhir abad 19 ke abad 20, mewakli sudut pandang yang pas untuk menyuarakan krisis Turki jelang keruntuhan Utsmani.
Seperti istilah dari Nelofer, putri Iskander yang juga jadi narator orang pertama, meggambarkan Selim ibarat orang yang berada di dalam sekaligus di luar budaya Turki.
Selim sejatinya mewakili gejolak batin seniman dan budayawan Turki yang mulai galau bahwa Turki terlepas ada masa pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 16 dan 17.
Namun kemudian menyadari dan akhirnya menyesalkan, bahwa kejayaan militer Turki tidak disertai dengan kemajuan yang sama jayanya di bidang soft power seperti kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi,
Sekaligus juga galau pada dirinya sendiri, apakah Turki harus memutus ikatan dengan tradisi untuk jadi orang modern, atau tetap mengelola tradisi dan modernisasi secara seimbang.
Tariq Ali, yang sejatinya adalah wartawan dulu baru novelis, sangat jeli dalam memilih angle ihwal gejolak batin dan pergolakan pemikiran berbagai komponen bangsa Turki jelang peralihan dari era kekhalifahan ke era republik.
Sepertinya Tariq Ali hendak menyampaikan pesan, bahwa terlalu sederhana jika keruntuhan Utsmani hanya dilihat semata-mata soal ingin meruntuhkan imperium Islam.