Goenawan Mohamad: Kediri, 1000 Tahun yang Lalu
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 08 Januari 2024 03:01 WIB
Tentu tak harus Airlangga, raja Kahuripan kelahiran Bali ini, mengenal Machiavelli atau Kautilya, untuk menegaskan bahwa kekuasaan — dan politik yang meraih dan menggunakan kekuasaan — bukanlah hal yang bisa dinilai secara ethis.
Terkenal pandangan Machiavelli bahwa budi baik tak niscaya memberi legitimasi bagi yang berkuasa. Tanpa membaca filsafat politik semacam itu Airlangga —- yang pernah merasakan kekalahan politik dengan pahit dan sebaliknya menaklukkan kerajaan-kerajaan lain dengan senjata — menyadari itu dari pengalamannya.
Tapi berbeda dengan banyak penguasa, dulu dan kini, ia tak hendak berlanjut dalam kehidupan yang tanpa dasar ethis itu. Ia merasa perlu menebus dosa. Ia meninggalkan kekuasaan yang najis meskipun nikmat; ia ingin menyucikan diri seperti orang yang butuh mandi di air bersih yang segar setelah bergelimang darah dan keringat dan kotoran.
Dalam pertapaan, di mana yang rakus dan keji dihindari, ia berharap yang hidup dan berkecamuk dalam diri adalah “hukum ethis” yang tak beku.
Dengan kata lain, Airlangga adalah contoh yang langka yang menunjukkan bahwa politik dan kekuasaan tak terlepas dari nilai-nilai. Raja ini bisa mengerti bahwa agar efektif mencapai gol, “tujuan menghalalkan cara”. Artinya segala macam cara, juga berkhianat dan menipu, pantas dipakai.
Tapi tak seperti penguasa umumnya, ia masih bisa tergetar oleh “hukum ethis”, yang terkadang disebut sebagai “kata hati” atau “hati nurani”. Ia masih mempertanyakan, jika “tujuan menghalalkan cara” apa gerangan yang menghalalkan “tujuan”?
Bukan mustahil Airlangga telah banyak berbicara dengan putri sulungnya, Sangramanwijaya, yang ia siapkan jadi pengganti tapi menolak.
Putri ini memilih hidup sebagai bhikuni dan tinggal d sebuah gua di bawah Gunung Klothok, di timur Kediri. Pengaruh Budha dalam perempuan muda ini tampaknya kuat. Ia terbiasa membersihkan diri dari kehendak duniawi. Airlangga menyimak itu.
Saya kira apa yang disebut “kata hati”— yang mengingatkan kita kepada yang disebut Kant sebagai “das moralische Gesetz”, “hukum moral”— memang bukan hanya datang dari batin sendiri atau dari bisikan Tuhan. Katakanlah ia tertanam dalam diri kita, tapi ada faktor orang lain dalam proses itu.
Itulah sebabnya kita bisa mengenal rasa malu, rasa bersalah, dan hati nurani yang terganggu — hal-hal yang dalam kehidupan politik yang takabur di Indonesia, 1000 tahun setelah Airlangga, mungkin tak ada lagi. ***