Goenawan Mohamad: Kediri, 1000 Tahun yang Lalu
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 08 Januari 2024 03:01 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Tak ada catatan tentang apa yang terjadi hari itu, 1000 tahun yang lalu di Kediri. Hanya diketahui bahwa di tahun 1045 itu Airlangga turun tahta. Baginda yang baru berusia 43 tahun itu meninggalkan istana. Ia pergi ke hutan. Ia memutuskan untuk jadi pertapa.
Tak seorang pun kini tahu apa yang mendorongnya. Airlangga raja yang berhasil. Di awal abad ke-11, menurut sebuah prasasti, kerajaan Kediri di Jawa Timur, hancur. Bencana itu, disebut “pralaya”.
Sebuah kerajaan kecil di Lsaram memberontak, merusak Watugaluh, ibukota. Raja Dharmawangsa dibunuh bersama seluruh anggota dinasti Ishana. Hanya Airlangga, waktu itu berusia 16, persis sedang dalam pesta perkawinannya, yang lolos.
Dikawal Narottama, pengiringnya, ia melarikan diri ke arah barat. Di Vanagiri (sekarang Wonogiri), pangeran itu berhenti, menyamar sebagai pertapa. Ia menunggu dengan cerdik.
Perlahan-lahan, pada 1019, ia berhasil mengumpulkan dukungan para bupati yang masih setia kepada dinasti Ishana. Ia persatukan semua wilayah bekas kerajaan Mataram, dan mendirikan sebuah kerajaan baru, Kahuripan namanya, yang terbentang antara Pasuruan sampai Madiun.
Airlangga yang kemudian dikenal sebagai “pembaharu” dengan efektif membangun Kahuripan. Kita bisa mengetahui itu dari sekitar 30 prasasti yang antara lain berbahasa Sanskerta. Patung termashur yang menunjukkan diirinya sebagai Dewa Wishnu yang duduk gagah di atas garuda mungkin lambang Airlangga sebagai perawat bumi. Ia dipuja.
Maka apa gerangan yang menyebabkannya turun tahta? Saya hanya bisa menduga dari perspektif hari ini. Saya menulis esei ini ketika Indonesia, dan tentu saja termasuk wilayah yang dulu di bawah titah Airlangga, sedang menyiapkan pergantian pemimpin. Saya melihat bagaimana kekuasaan akan berakhir, dan diganti, setelah beroperasi.
Bersama itu, tampak bagaimana kekuasaan disikapi. Trilyunan uang ditumpahkan, termasuk buat membeli dukungan, menyogok partai lama dan baru, kecil dan besar, memanjakan para elite politik. Ada waham yang tak diakui sebagai waham, ilusi yang diterima sebagai keniscayaan: bahwa kekuasaan akan berlangsung melebihi person yang berkuasa.
Airlangga tak tenggelam dalam waham seperti itu; ia tentu sadar dari atas tahta ia mampu mencapai pelbagai hal — dan akhirnya juga keagungan— tapi ia telah mengalami betapa gentingnya kekuasaan dan nisbinya keagungan.
Kekuassan itu “genting”: tak pasti, tak kekal, menegangkan, serba mungkin, dan menghendaki pelbagai hal yang tak semuanya mulia atau cocok dengan apa yang biasanya kita yakini sebagai “baik” dan “bersih”. Dengan itu “keagungan” cuma cerita humas.