DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Pemberitaan Media dan Bahaya Nara Sumber yang Tidak Memiliki Kredibilitas

image
Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., MBA

ORBITINDONESIA - Pemberitaan media, yang mengutip nara sumber yang tidak memiliki kredibilitas (tidak kredibel), bisa berisiko terhadap informasi yang disebar ke khalayak pembaca. Informasi itu bisa tidak sesuai fakta, tidak akurat, menyesatkan (misleading), salah konteks, terlalu dilebih-lebihkan (bombastis, sensasional), dan sebagainya.

Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas atau kekuatan untuk dipercaya. Kredibilitas bisa berasal dari berbagai aspek:

Kompetensi: Ketika kita membahas masalah bahan-bahan kimia, tentunya seorang PhD ilmu kimia memiliki kompetensi jauh lebih tinggi daripada orang yang tidak punya latar belakang pendidikan ilmu kimia. Maka bisa dikatakan, seorang PhD ilmu kimia lebih memiliki kredibilitas.

Baca Juga: Korupsi, Nilai Agama dan Kompartementalisasi

Otoritas: Posisi atau jabatan seseorang di organisasi tertentu membedakan tingkat kredibilitas. Seorang Panglima TNI tentu lebih memiliki kredibilitas untuk menjabarkan kebijakan organisasi TNI ketimbang seorang Komandan Korem.

Kapasitas: Anda bisa mewawancarai seorang pengelola warteg tentang dampak kenaikan harga BBM dan elpiji dalam lingkup operasional warungnya. Tetapi jika Anda ingin mengetahui dampak kenaikan harga BBM dan elpiji terhadap ekonomi nasional, ya Anda tentu harus bertanya ke pakar ekonomi atau Menteri Perekonomian.

Menurut kode etik Perhimpunan Jurnalis Profesional, integritas profesional merupakan landasan kredibilitas seorang jurnalis. Kewajiban nomor satu seorang jurnalis adalah jujur.

Pemberitaan media bisa dijadikan pertimbangan awal untuk membuat kebijakan publik. Namun tentu tidak cukup satu-dua media, karena bahkan sebuah media yang kredibel masih mungkin membuat kekeliruan dalam pemberitaan.

Baca Juga: Buku Sejuta Dolar itu Bernama Book of Rhymes

Maka makin banyak media yang dibaca dan diperbandingkan kontennya, semakin baik. Jika banyak media yang memberitakan, maka kemungkinan kekeliruan bisa diperkecil. Tiap media bisa saling mengoreksi pemberitaan yang lain.

Meski begitu, pemberitaan itu juga harus ditambah dengan penelitian langsung oleh tim dari pembuat kebijakan, untuk mengetahui duduk permalahan secara utuh, lengkap dan proporsional.

Kredibilitas sebuah media biasanya tidak muncul begitu saja. Itu dibentuk dalam waktu yang panjang dan diuji oleh waktu. Maka media mainstream yang sudah mapan biasanya lebih memiliki kredibilitas ketimbang media yang baru berdiri dan belum teruji.

Media mapan bisa memiliki sejumlah ciri, antara lain:

Baca Juga: Dunia Literasi dan Donald Trump

Memiliki struktur organisasi dan keredaksian yang jelas (ada pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur bidang, dsb), sehingga ada pertanggungjawaban yang jelas jika terjadi kesalahan dalam pemberitaan. Berita yang dimuat juga sudah melalui proses editing, kontrol, dan penyaringan yang cukup ketat.

Memiliki alamat kantor redaksi dan nomor kontak yang jelas. Ini menunjukkan kesediaan media untuk bertanggung jawab. Media yang tidak memberitahukan  alamat redaksi yang jelas kepada publik, patut diragukan komitmennya untuk bertanggung jawab.

Memiliki wartawan yang profesional. Hal ini ditunjukkan dengan pemahaman mereka tentang  kode etik jurnalistik dan kode perilaku, dan kesediaan untuk mematuhi kode etik dan aturan perilaku tersebut.

Ciri-ciri Profesional (menurut Samuel Huntington):

1) Expertise/keahlian;

2) Responsibility/tanggung jawab;

3) Corporateness/kesejawatan.

Wartawan itu mungkin berhimpun dalam organisasi profesi jurnalis yang bonafid dan diakui Dewan Pers, seperti: AJI, PWI, IJTI.  Organisasi profesi itu memiliki kode etik yang mengikat anggota-anggotanya.

 

Satrio Arismunandar adalah mantan wartawan Harian Kompas dan Trans TV. ***

Berita Terkait