DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Semiotika dan Hermeunetika Patung Wayang Roboh di Depan Balaikota Surakarta.

image
Patung wayang yang roboh di depan Balaikota Surakarta.

ORBITINDONESIA.COM - Saya sedang beristirahat di rumah ibu saya di Solo. Sekarang memasuki minggu keempat, semoga kondisi badan segera membugar.

Ketika MK mengubah syarat pencalonan capres dan cawapres yang diduga untuk meluluskan Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka - anak sulung Joko Widodo-Iriana sebagai bacawapres mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2024, alam memberikan berbagai pertanda yang membutuhkan interpretasi kultural secara mendalam.

Apa yang terjadi? Kota Solo yang sudah lama tidak turun hujan, mendapat hadiah hujan angin, beberapa pohon bertumbangan di antero kota, termasuk yang berada di depan Balaikota Surakarta.

Baca Juga: Konsep Dunia Pasca Barat dan Pergeseran Keseimbangan Kekuatan Global

Orang Solo yang kental dengan budaya Jawa dan ilmu titen, "ngalamat" atau pertanda apa yang sebenarnya terjadi?

Ternyata benar PUU nomor 90/PUU-XX1/2023 merupakan produk pelanggaran etika berat dari seorang Ketua MK yang merupakan paman sang walikota. Putusan itu menimbulkan masalah hukum dan politik, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, walaupun produk pelanggaran berat etika Ketua MK itu kini sudah diberhentikan dari jabatannya.

Hari ini di tanggal cantik 11-11 menjelang muhibah Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi dalam rangka KTT OKI, pertemuan dengan Presiden Joe Biden di Washington DC dilanjut KTT APRC di San Francisco, dan juga menjelang penetapan pasangan peserta Pilpres oleh KPU, 13 November 2023, semesta kembali memberi pertanda.

Kali ini yang roboh bukan pohon saja, tetapi beberapa patung wayang berbahan serat kaca yang didirikan di masa Walikota FX Hadi Rudyatmo.

Baca Juga: Dampak Serangan Israel di Jalur Gaza, Para Bayi di RS Al Quds Alami Dehidrasi

Patung yang roboh kebetulan adalah tokoh wayang idola Joko Widodo, seperti Bathara Kresna, Bima (Werkudara), dan Gatotkaca. Walikota Joko Widodo memberi nama bus tingkat wisata Werkudara dan railbus commuter perintis Purwosari - Wonogiri PP, KA Bathara Kresna.

Patung tokoh wayang itu roboh dan tak bisa diperbaiki lagi, selain tangannya patah semua kepalanya terpenggal, terpisah dari badannya.

Bagi wong Solo, tentu memiliki interpretasi dalam membaca tanda-tnda dan memaknai sinyal dari alam dalam semiotika (ilmu tentang tanda) dan hermeunetika (ilmu tentang makna) ala jawa secara pemahaman mendalam, seperti yang digambarkan Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures.

Patung tokoh-tokoh idola Joko Widodo itu tumbang oleh angin. Begitu pula Gatotkaca ksatria setengah raksasa yang kesaktiannya bahkan tahta raja Pringgadani kesemuanya adalah pemberian, bukan pencapaian (achievement). Gatotkaca mati muda dalam Bharatayudha. Saya tidak sedang berandai-andai siapa si Gatokaca itu.

Baca Juga: Jika Semua Pahlawan Super MCU Dimasukkan ke Arena Hunger Games, Siapa yang Bertahan?

Di dunianya kita sedang melihat perilaku pangeran yang tidak memiliki rasa malu, sebagai produk hukum yang tidak memiliki legitimasi.

Etika Jawa dalam pemerintahan berlaku, "esem bupati semua mantri dhupak kuli". Untuk menegur level bupati cukup dengan senyuman kecut, level mantri diperingatkan dengan kata-kata kiasan, sedang level kuli dibutuhkan tindakan fisik atas perilaku yang tidak benar.

Rupanya hal itu tidak berlaku bagi sang Il Principe, walaupun alam telah mengirimkan alamat.

Kearifan budaya Jawa telah diingatkan oleh KGPAA Mangkunagara IV dalam pupuh pertama tembang pucung Serat Wedhatama, "ilmu iku kalakone kanthi laku", ilmu itu bisa dikuasai dengan belajar secara tekun.

Baca Juga: Perintah Eksekutif Biden tentang Kecerdasan Buatan atau AI Adalah Awal yang Baik, Namun Belum Cukup

Segala sesuatu itu bisa dicapai dengan sempurna melalui pencapaian, bukan pemberian, hadiah, atau malah produk konspirasi dengan menabrak hukum dan peraturan perundang-undangan.

Siapapun yang melakukannya hanya akan mencapai kemuliaan semu dan nama keluarga besarnya akan diingat sebagai berperangai buruk sepanjang masa.

Sekadar memaknai "lebenswelt" ala Habermas dalam perspektif budaya Jawa.

Oleh: Rachmad Bahari
Soloensis. ***

Berita Terkait