Inilah Sikap Kaukus 87 Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta terhadap Putusan MK
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 08 November 2023 08:04 WIB
1. Gugatan-gugatan serupa yang diajukan sebelumnya ditolak, tetapi gugatan yang baru masuk tanggal 13 September 2023 sikap hakim berubah dengan menerimanya.
2. Hanya 3 hakim yang setuju batasan usia capres-cawapres dibawah 40 tahun dengan klausul pernah atau sedang menjabat kepala daerah sampai tingkat kota/kabupaten, sementara 2 hakim setuju pada level gubernur dan 4 hakim tegas menolak. Anehnya kesimpulan putusan majelis hakim bahwa kepala daerah hasil pemilu, termasuk tingkat kabupaten/kota dapat menjadi caprescawapres mesti belum berusia 40 tahun.
3. Temuan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) atas dokumen perbaikan permohonan atas nama Almas Tsaqibbirru yang didapatkan langsung dari situs resmi MK ternyata tidak ditandatangai Almas maupun kuasa hukumnya.
4. Terdapat cacat hukum acara dalam proses pengajuan gugatan di mana sebelumnya gugatan yang diajukan telah ditarik oleh pemohon sehingga semestinya tidak dapat diajukan kembali dan pengajuan kembali gugatan dilakukan di luar hari kerja namun tetap diterima oleh MK.
Putusan MK telah melemahkan legitimasi, merusak demokrasi, dan mengusik akal sehat kita sebagai warga negara. MK telah bermain api, sarat dengan kepentingan politik, dan membahayakan demokrasi. Kekuasaan kehakiman melampui batas dengan mencampuri urusan politik yang menjadi tugas/wewenang DPR ketika MK menambahkan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai caprescawapres walaupun tidak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun. Bahkan Hakim MK, Arief Hidayat, terusik nuraninya karena adanya kekuatan yang terpusat di tangan-tangan tertentu yang ini lebih buruk dibandingkan rezim Orde Baru (25/10/2023).
Sulit dibantah bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak lepas dari upaya memberikan keistimewaan, privilege, ‘jalan tol’ untuk Gibran Rakabuming Raka, keponakan Ketua Hakim MK dan sekaligus anak sulung Presiden RI, agar dapat mendaftar sebagai cawapres meskipun dengan jalan menghalalkan segala cara, menabrak konstitusi, dan merusak sistem kehakiman dan demokrasi yang sudah dibangun sejak reformasi 1998.
Berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKMK) tgl. 7 November 2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan sanksi diberhentikan sebagai Ketua MK dan tidak boleh ikut memeriksa dan memutus gugatan sengketa hasil Pemilu 2024 semakin menegaskan bahwa telah terjadi kesalahan fatal yang dilakukan MK dalam membuat Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, MK telah nyata-nyata menyalahgunakan wewenangnya dalam membuat putusan a quo.
Melihat fakta-fakta di atas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kembalikan muruah dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi RI dengan memberhentikan seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyetujui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 agar tidak kembali menodai proses demokrasi di Indonesia, terutama dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2024.
2. Pemimpin dan elit politik tidak sewenang-wenang, menghalalkan segala cara dalam menggapai tujuan politik tetapi diharapkan memberikan keteladan dan adab dengan menjunjung etika berpolitik.
3. Penyelenggara Negara, Presiden, Menteri/Wamen, Gubernur, Bupati, Walikota, BIN, Kepolisian, TNI, dan ASN harus netral dan tidak menyalahgunakan kekuasaan. Aparat adalah pelindung rakyat dan setia pada konstitusi NKRI.