DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kisah Pengungsi: Mencari Secercah Harapan di Lautan Nestapa

image
Buku tentang nasib pengungsi

ORBITINDONESIA - Pernahkah Anda membayangkan hidup terlantar sebagai pengungsi? Tidak memiliki rumah, tidak bisa bekerja atau bersekolah, bahkan tidak memiliki kartu identitas karena tidak ada negara yang bersedia menampung Anda?

Itulah yang dirasakan jutaan orang pengungsi di kamp-kamp pengungsian saat ini, salah satunya kamp-kamp pengungsian di Yunani yang penuh sesak dengan orang-orang yang putus asa.

Pengungsi ini melarikan diri dari perang, kemiskinan, dan kekerasan. Namun pilihan untuk melarikan diri dan berharap akan adanya masa depan yang lebih baik di negara lain justru dipatahkan sepatah-patahnya oleh kenyataan, bahwa tidak ada negara yang menginginkan mereka.

Baca Juga: LPAI Minta Bertemu Anak Ferdy Sambo yang Jadi Korban Perundungan

Helen Benedict dan Eyad Awwadawnan bisa mengungkap betapa mengerikannya hidup di kamp-kamp pengungsian lewat buku mereka “Map of Hope and Sorrow,” yang terbit pada 9 Juni 2022.

Buku tersebut ditulis lewat kacamata Helen Benedict, seorang profesor di Univeristas Kolombia, bersama dengan Eyad Awwadawnan, seorang penulis sekaligus pengungsi Suriah.

Buku ini berawal dari pertemuan Benedict dan Awwadawnan di Samos, empat tahun lalu. Hingga keduanya mewawancarai lima orang pengungsi di kamp-kamp Yunani.

Mereka adalah Hasan, Asmahan, Evans, Mursal, dan Calvin. Masing-masing memiliki cerita tersendiri setelah meninggalkan rumah mereka di Suriah, Afganistan, Nigeria, dan Kamerun.

Baca Juga: Ketika Menari Bisa Begitu Mematikan

Hassan tiba di Yunani usai melarikan diri dari ISIS di Suriah. Namun ia langsung ditahan dan didakwa atas perdagangan manusia karena membantu perahu pengungsi ke tempat yang aman.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait