Masalah Populasi Menua di Jepang Mungkin Merupakan yang Terburuk di Dunia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 05 November 2023 08:35 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Masalah populasi menua di Jepang mungkin merupakan masalah terburuk di dunia, namun masalah ini juga dihadapi oleh semua negara maju.
Permasalahan ini tampaknya begitu sulit diatasi sehingga pernyataan ekonom Yale, Yusuke Narita, yang menyatakan bahwa orang lanjut usia sebaiknya melakukan bunuh diri massal menjadi berita utama internasional. Hal ini bukanlah usulan kebijakan yang serius, namun diperlukan tindakan radikal di Jepang.
Charles Goodhart berpendapat bahwa alih-alih negara membiayai kehidupan sehari-hari para pensiunan melalui dana pensiun negara, negara seharusnya memprioritaskan pembiayaan peningkatan biaya perawatan medis bagi para lansia.
Baca Juga: Hasil Pekan ke 18 BRI Liga 1 Persita Tangerang Melawan Bartito Putera Berakhir Tanpa Pemenang
Jepang mempunyai proporsi penduduk lanjut usia tertinggi di dunia, dengan 29 persen penduduknya berusia di atas 65 tahun. Angka-angka ini, ditambah dengan peningkatan angka harapan hidup, menimbulkan banyak permasalahan.
Orang lanjut usia cenderung membutuhkan lebih banyak perawatan medis, yang mahal dan memerlukan banyak sumber daya manusia.
Di sebagian besar negara maju, negara memberikan sebagian besar bantuan yang dibutuhkan, yang berarti semakin sedikit jumlah pekerja muda yang menanggung beban pajak. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai pertumbuhan ekonomi, dan mungkin yang lebih penting, keadilan antar generasi.
Di sinilah peran profesor ekonomi Yale bernama Yusuke Narita. Profil pria berusia 37 tahun di New York Times baru-baru ini memicu kemarahan atas pendapatnya bahwa solusi terhadap masalah populasi menua di Jepang adalah “bunuh diri massal” atau “seppuku massal”.
Baca Juga: Hasil Liga Inggris: Bruno Fernandes Jadi Penyelamat Manchester United Dalam Laga Melawan Fulham
Seppuku pada dasarnya mengeluarkan isi perut, sesuatu yang dilakukan oleh Samurai yang tidak terhormat di akhir abad ke-19. Dia kemudian melunakkan klaimnya, dengan mengatakan bahwa itu hanyalah “metafora abstrak”.