DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Esthi Susanti Hudiono: Refleksi Kasus Rempang

image
Esthi Susanti Hudiono tentang Rempang.

ORBITINDONESIA.COM - Awalnya saya tak mau menulis kasus Rempang di bulan-bulan politik ini. Masalah ini sedang dan menjadi sasaran empuk untuk disajikan sebagai komoditi politik.

Hal ini sudah nampak dari siapa yang berdemonstrasi di balai kota Bandung. Juga telah muncul isu China dan Pribumi, yang akan mengundang kembali kekerasan sosial pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Saya ikuti tulisan Bang Denny JA tentang Rempang dan beberapa respon anggota Esoterika dan Forum Spiritualitas.

Baca Juga: Erick Thohir Berziarah Kubur, Gus Billy: Tidak Ada yang Salah

Termasuk undangan mengikuti webinar tentang Rempang dari Mbak Tami yang diselenggarakan fakultas hukum Universitas Gajah Mada, dengan nara sumber yang saya kenal yakni Prof. Maria dan Dr. Herlambang.

Semua itu membuat saya merenung. Saya sudah mengamati masalah pertanahan di Indonesia lama sekali dari dimensi mikro maupun makro. Ini masalah besar dari masa kolonial yang belum bisa diselesaikan dari perspektif demokrasi dan hak asasi manusia.

Kolonialisme dan imperialisme pada dasarnya terkait dengan penguasaan tanah dan manusia penghuninya yang diperlakukan sebagai objek.

Saya dengar bahwa Presiden Jokowi marah dengan masalah Rempang. Lalu masalahnya di mana dengan proyek dengan jumlah uang begitu besar, mengapa tidak bisa mengatasi masalah hak asasi manusia terkait dengan komunitas adat penghuni wilayah hutan?

Baca Juga: Prediksi Skor Bournemouth vs Arsenal Dalam Lanjutan Pekan ke 7 Liga Inggris, Head to Head, Susunan Pemain

Negara adalah pihak yang bersalah dengan otoritas dari rakyat pemilih, mengeksekusi pembangunan yang secara teoritis akan menguntungkan negara. Namun praktiknya adalah tidak semua menikmati hasil pembangunan. Elite yang terlibat saja yang diuntungkan.

Negara itu bukan entitas tunggal dan ada dalam hirarki berlapis-lapis. Lalu elemen negara mana yang salah? Ada elemen pengambil kebijakan tertinggi seperti presiden. Ada pelaksana di tingkat pembantu presiden dan seterusnya.

Kesalahan presiden adalah tidak membuat kebijakan revolusioner dengan menghitung orang-orang lemah dan dipinggirkan dalam proyek pembangunan. Dari akal sehat harusnya ini bisa dilakukan.

Ini masalah bargaining dengan investor dan mentalitas pelaksana proyek. Sudah waktunya tak lagi minder dengan iming-iming tenaga murah dan sumber daya alam untuk menarik investor. Sekarang Indonesia mempunyai posisi tawar dan tak perlu mengemis investor masuk.

Baca Juga: Hasil Pegadaian Liga 2, Kalahkan Persewar Waropen, Sulut United Pepet PSBS Biak di Klasemen

Menurut saya ada skema tata kelola proyek sejak Orde Baru (masa pembangunan dengan investasi yang baru dimulai dari Indonesia), yang belum memasukkan elemen hak asasi manusia dengan kepedulian terhadap wong cilik (dalam kasus Rempang adalah 16 komunitas adat dengan jumlah penduduk kurang lebih 10.000 jiwa (?).

Wong cilik termasuk kelompok-kelompok minoritas tak masuk dalam agenda perencanaan, karena adanya mind set yang bersumber dari dunia feodal, paternalistik, dan bentuk-bentuk hirarki yang telah menjadi tradisi dan budaya.

Budaya feodal adalah musuh dari demokrasi. Agen penghidup feodalisme ini adalah para pemilik otoritas di perguruan tinggi, agama dan budaya. Jejak pemikiran, sikap dan tindakan para pemegang otoritas itu bisa ditelusuri dari jaman kolonial Belanda dengan politik etis yang pernah dilakukan.

Pemerintah Belanda memilih kelompok feodal dan elite yang diberi hak istimewa mendapat pendidikan. Mereka ini yang memainkan peran penting pengalihan kekuasaan dari Belanda ke tangan sendiri dengan wilayah penjajahan Belanda.

Baca Juga: Inilah Profil Lengkap Syahrul Yasin Limpo, Menteri NasDem yang Ditetapkan KPK Jadi Tersangka Korupsi Kementan

Republik dalam demokrasi dalam sistem persatuan (bukan federasi) yang dipilih para pendiri bangsa. Praktik mencipta kesatuan bernama bangsa Indonesia dengan ciri-ciri yakni pemerintahan yang terpusat di Jakarta dengan perilaku feodal.

Meski konstitusi menyertakan semua warganegara untuk bisa menikmati dan memiliki hak pembangunan namun dalam praktek nyaris wong cilik termasuk komunitas adat selalu ditempatkan sebagai obyek.

Presiden Jokowi mulai membuka jalan untuk menjadikan bangsa yang mempunyai kemampuan berproduksi dalam skema globalisasi.

Beliau memilih bebas berkolaborasi dengan RRC dan Amerika Serikat dalam sistem liberal. Sebuah keberanian yang patut dihargai karena apa yang dilakukan bisa mengundang adanya politik adu domba dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Baca Juga: Prediksi Skor Pertandingan PSIS Semarang vs PSM Makassar di Pekan ke 14 BRI Liga 1

Saya ada dalam posisi penerusan pencapaian apa yang telah dilakukan presiden Jokowi dengan banyak catatan koreksi. Salah satu koreksi yang tak bisa lagi ditunda adalah pembangunan yang harus menghitung komunitas adat dalam urusan menjaga warisan adat-budaya, pekerjaan dan tanah.

Komunitas adat harus diurus dengan baik. Pengurusan komunitas adat dengan baik terkait dengan indikator pemerintah dalam menyejahterakan warganegaranya yang terpinggirkan.

Ini adalah kewajiban negara yang tertuang dalam konstitusi dan tidak ada dalam skema neoliberal yang bertumpu pada investor.

Karena itu kedewasaan dan kemandirian pimpinan kita menentukan keberlangsungan kita sebagai bangsa Indonesia adalah kunci kesejahteraan untuk semuanya bisa dicapai. Semoga Indonesia dikasihani dan diberkati oleh Pencipta.

(Oleh: Esthi Susanti Hudiono) ***

Berita Terkait