Dr Abdul Aziz: Narkoba dan Syariah
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 28 September 2023 07:35 WIB
Baca Juga: Jurnalis Dukung GARAMIN NTT Publikasikan Kaum Disabilitas
Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tahun yang sama, mengungkap 768 kasus tindak pidana narkoba, dengan tersangka 1.209 orang. Yang mengejutkan salah satu tersangka, hingga saat ini masih buron. Sang buron adalah mafia narkoba, bernama Fredy Pratama.
Polisi telah menyita 10,2 ton sabu dan uang Rp 10,5 triliun dari anak buah mafia Fredy Pratama tadi. Terbayang, berapa jumlah konsumen sabu yang diedarkan mafia sabu Fredy tersebut? Luar biasa.
Melihat bahaya narkoba yang demikian dahsyat, maka secara syar'i, vonis yang pantas untuk pengedar dan gembong narkoba adalah hukuman amat berat, seumur hidup. Orang semacam Fredy Pratama, misalnya, pantas dikenakan Pasal Primair Pasal 114 Ayat (2) Juncto Pasal 132 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Yaitu Mengedarkan Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp10 miliar.
Baca Juga: Pengamat Sepak Bola Kesit Budi Handoyo Nilai Positif Sikap Tegas PSSI Panggil Pemain Klub ke Timnas
Untuk kasus Fredy Pratama, karena ia gembong mafianya, maka vonis amat berat, misal hukuman seumur hidup. Kenapa? Karena ia telah "membunuh" ratusan bahkan ribuan orang akibat memakai sabu yang diedarkan mafia Fredy Pratama tersebut.
Kenapa bukan hukuman mati? Karena saat ini, hukuman mati bisa menuai masalah: dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Amnesty Internasional, misalnya, saat ini menjadi lembaga yang amat vokal menentang hukuman mati. Hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran HAM. Alasannya, hukuman mati mencabut hak hidup manusia.
Saat ini sudah 85 negara yang telah menghapus hukuman mati. Indonesia mendapat tekanan para aktivis HAM untuk menghapus hukuman mati tadi.