Puisi Esai Denny JA: Menjauh Seribu Kilometer
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 22 Agustus 2022 10:06 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA – Denny JA, selaku pegiat hak azasi manusia menggambarkan konflik berlatar primordial di Lampung antara etnis Bali dan Lampung sebagai penderitaan manusia yang luar biasa mendalam.
Denny pun menunjukkan keprihatinan atas konflik itu melalui puisi esai yang menggugah hati dan nalar manusia agar tidak membuat konflik serupa di Tanah Air ini.
Konflik, apapun bentuknya di mata Denny JA akan melahirkan penderitaan manusia dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan, inilah salah satu puisi esai dari Denny JA yang menggambarkan penderitaan konflik antarmanusia:
Menjauh Seribu Kilometer
Malam yang gelisah.
Angin gusar, bertiup pelan, mendalam.
Pohon- pohon bergerak ragu- ragu.
Pukul 3.00 dini hari.
Bendi masih duduk di sana,
di beranda rumah, seorang diri.
Dilepasnya pandangan jauh, sejauhnya ke langit.
“Ya Tuhan.
Sepuluh tahun sudah.
Sudah kuseberangi lautan.
Aku sudah menjauh seribu kilometer.
Mengapa bayangan ini tetap mengikuti.”
Bendi sudah 10 tahun tinggal di Surabaya.
Sudah 10 tahun ditinggalkannya kampung halaman Lampung Selatan.
Bayangan itu datang lagi.
“Hei, orang kafir,
orang Bali, enyah kalian dari sini.
Ini kampung kami.
Jangan kalian sok berkuasa di sini.”
Bendi ada di sana.
Ia sangat bersemangat.
Matanya menyala.
Bersama ratusan penduduk pribumi Lampung Selatan, dari kampung Agom, mereka menyerbu desa orang Bali, Balinuraga. (1)
Puluhan rumah mereka rusak.
Puluhan pondok mereka bakar.
Lebih dari dua ribu orang Bali terkocar- kacir mengungsi.
Sebanyak 14 orang tewas.
Berbeda dengan orang Lampung lain yang membawa golok, parang, Bendi membawa senapan angin.
Tak lagi ia ingat berapa orang yang ia tembak dari jauh.
Bendi masuk ke rumah itu.
Pintu kamar ia terjang, terbuka.
Seorang nenek di sana, duduk di kursi roda.
Bendi arahkan senapan angin ke kepala nenek itu.
Bendi tak benar-benar ingin membunuh.
Ia hanya gugup saja.
Senapan angin ia arahkan, tanpa sadar. Spontan.
Tapi nenek itu tak takut.
Terasa ini bukan orang sembarangan.
Aura spiritual memancar.
Pelan tapi mendalam nenek itu berkata:
“kau juga punya ibu.
Apa salahku padamu?
Kejahatanmu akan menghantuimu. Hingga datang ajalmu.”
Bendi terdiam.
Senapan angin diturunkannya.
Terpana.
Puluhan panah dari mata nenek itu menghujam ulu hati Bendi.
-000-
Saat itu, tahun 2012, usia Bendi 25 tahun.
Memang Bendi dan kawan- kawan menang, mengalahkan komunitas Bali.
Tapi hujaman panah dari mata nenek itu terus bertahan di ulu hatinya.
Berkarat di sana.
Kemanapun Bendi pergi,
bayangan nenek itu ikut.
Selalu terngiang ucapan itu:
“kejahatanmu akan menghantuimu. Hingga datang ajalmu.”
Bendi pun meninggalkan Lampung Selatan.
Ia pindah ke Surabaya.
Ia ingin lupakan konflik Lampung versus Bali ini.
Ia seberangi lautan.
Ia pergi lebih dari seribu kilometer ke Surabaya.
Di atas kapal laut,
di tengah samudra,
di geladak, Bendi berteriak:
“Kampung halamanku,
selamat tinggal.
Aku tak kan kembali.
Aku menjauh darimu.”
Melalui kenalan,
ia buat KTP baru:
Bendi, warga Surabaya.
Tempat kelahiran diubahnya.
Bukan provinsi Lampung.
Tapi Sumatra Selatan.
Ia pun beristri, beranak.
Rahasia ditutupnya rapat- rapat.
Bahkan istrinya pun tak tahu,
jika Bendi asal Lampung.
Keluarga Bendi di Lampung juga tak tahu Bendi ada dimana.
Ini hidup baru.
Bendi ingin lupakan hidup yang lama.
-000-
Tapi kejadian ini, kebetulankah?
Bendi tak habis mengerti.
“Kau manajer yang bagus, Bendi.
Teruslah bekerja keras.”
Pimpinannya, Rusdi, acap memujinya.
Bendi baru saja tahu, minggu lalu.
Ternyata pimpinannya itu bukan pemilik tunggal hotel.
Pimpinannya, Rusdi, mengajak Bendi berkunjung kepada pemilik dengan saham lebih besar lagi.
“Ini pemilik sebenarnya Bendi.
Saya ini sama dengan kau, hanya pekerja. Tapi saya diberi saham kecil- kecilan.
Pemilik aslinya sahabat lama saya. Ia orang baik. Sangat baik.”
“Pemilik ini low profile.
Ia tak mau tampil.
Tapi kau jangan kaget ya.
Wajahnya agak murung.
Sedihnya tak kunjung selesai.”
Bendi diam saja.
Walau ia mulai bertanya:
“Apa itu sedih yang tak kunjung selesai?”
Demikian Rusdi mengenalkan sepintas soal pemilik hotel tempat Bendi bekerja.
Rumah pemilik hotel ini cukup besar. Pagarnya bernuansa Bali.
“Ia orang Bali,” Rusdi memberi info tambahan.
Hati Bendi berdegub.
Tapi ditahannya.
Bendi tak ingin terlihat gusar.
Mereka duduk di ruang tamu.
Orang memanggil pemilik hotel ini pak Wayan. Lengkapnya Wayang Ardika.
Di ruang tamu, terpampang foto anak lelaki usia 15 tahun.
Pak Rusdi menjelaskan.
Ini anak kesayangan Pak Wayan.
Anaknya wafat ketika sedang berkunjung ke rumah saudaranya di Lampung Selatan.
Anak ini tak tahu menahu konflik di sana.
Desa Balinuraga diserbu orang lampung.
Ia pun ikut terbunuh.
Pak Wayan sempat sakit sebulan lamanya.
Sejak itu, ia selalu murung.
Foto anaknya ini ia pasang di ruang tamu.
Istri dan anak lainnya pernah menurunkan foto itu.
Mereka tak tega jika pak Wayan terus murung.
Tapi pak Wayan marah:
“Kalian jangan pernah turunkah foto ini.
Arwah Satya tetap hadir di sini.”
Sejak saat itu, istrinya, anaknya tak ada yang berani.
Foto Satya selalu di sini.
Semakin berdegup hati Bendi.
“ya Allah, ya Tuhan.
Aku bertemu lagi dengan kisah ini.”
Pak Wayan pun datang ke ruang tamu.
Wajah murungnya langsung terasa.
Kaki Bendi gemetar.
Ia merasa bersalah.
Bendi ingin jujur cerita masa lalu.
Tapi Bendi takut respon pak Wayan.
Pak Wayan membaca kegelisahan Bendi.
“Pak Bendi, ada masalah?”
“Oh tidak pak, “ jawab Bendi serba salah.
-000-
Di beranda rumah,
tengah malam, peristiwa itu kembali datang, mengganggu Bendi.
Peristiwa 10 tahun lalu.
Bermula dari dua gadis dari Desa Agom. (2)
Salah satu gadis itu sangat Bendi sukai.
Ia jatuh cinta.
Dua gadis penduduk asli Lampung Selatan naik sepeda motor.
diganggu pemuda Bali dari Desa Balinuraga.
Kurang ajar, itu orang Bali memegang paha si gadis.
Si gadis di motor terjatuh.
Tak hanya luka fisiknya.
Tapi luka harga dirinya.
Pelecehan seksual.
Bentrok terjadi menjelang tengah malam.
Pukul 23.00.
Massa dari Desa Agom menyerbu Desa Balinuraga.
Tidak dengan tangan kosong.
Mereka bawa senjata.
Bendi ikut memimpin massa.
Ada yang pegang parang.
Banyak yang membawa pedang, golok, celurit.
Bendi sendiri menenteng senapan angin.
Bentrok berlanjut hingga esok hari.
Bentrok berlanjut lagi hari lusanya.
Tak nanggung- nanggung.
Polisi menurunkan 1500 personel.
-000-
“Sampai kapan aku berlari?
Hingga kapan rahasia itu kututup?”
Bendi bertanya pada diri.
Angin bertiup sepoi di beranda rumah Bendi, di malam itu.
“Percuma aku merahasiakan ini pada semua.
Toh, aku tak bisa merahasiakannya kepada hatiku sendiri.
Hatiku tahu semua.
Justru ini yang menyiksa.”
Bendi membuka tas panjang itu.
Yang sudah sepuluh tahun tak dibuka.
Senapan angin dipandang- pandangnya lagi.
Bendi tak tahu pasti.
Apakah senapan ini yang membunuh anaknya pak Wayan? (3)
Pukul 4 dini hari.
Bendi memutuskan.
Saatnya aku berterus terang.
“Aku ingin terbuka.
Harus kuceritakan semua kepada pak Wayan dan Pak Rusdi.
Sambil kuserahkan ini senjata.
“Aku tak peduli.
Setelah itu, apakah aku dipecat?
Pecat saja. Silahkan.”
Bendi ingin tidur sejenak.
Setelah segar, ia akan minta Pak Rusdi kembali menemaninya ke rumah pak Wayan.
Siang itu, Bendi terbangun.
Ia bergegas ke pantai.
Di bawanya senapan angin itu, dalam tas panjang.
Ia menyewa perahu.
“Pak, antarkan saya ke tengah laut.”
Pemilik perahu menjawab: “Saya tak berani ke tengah laut pak. Paling ke batas itu.”
“Tak apa,” jawab Bendi.
Perahu melaju.
Di batas laut itu,
Ia keluarkan senapan angin.
Dibuangnya senapan ke dalam laut.
Bendi berubah pandangan.
Ia batalkan niat berterus terang ke pak Wayan.
Bendi memilih tetap merahasiakan masa lalu.
“Biarlah masa laluku hilang bersama hilangnya senapan anginku.”
Awalnya Bendi lega.
Namun kembali wajah nenek itu muncul:
“Kejahatanmu selalu menghantuimu. Hingga datang ajalmu.”
Terdiam lama Bendi.
Ia merasa sepi.
Sendiri.
Terancam.
“Ah bayangan,
mengapa kau selalu menghantuiku?
Kau ingin apa dariku?
Kau ingin aku bunuh diri?”
Bendi mulai jenuh.
Ia bertanya pada diri sendiri.
Perahu terus melaju, ke pantai.
Angin laut meniup sepoi.
Sesuatu yang gaib hadir.
Terbayang seorang wanita,
yang sudah wafat sejak Bendi kecil.
Sambil menangis, Bendi menyebut wanita itu di hati:
“Ibu, Ibu.” ***
Agustus 2022
CATATAN.
1. Konflik etnik Bali versus Etnik Lampung di tahun 2012 menewaskan 14 orang dan ribuan pengungsi
https://amp.kompas.com/nasional/read/2012/10/30/15124247/korban-tewas-di-lampung-selatan-jadi-14-orang
2. Konflik etnik Bali versus Etnik Lampung dipicu hal yang seolah sepele: diganggunya dua gadis lampung oleh pemuda Bali
https://www.viva.co.id/amp/ragam/fokus/363482-lampung-selatan-berdarah-siapa-salah
3. Senapan angin selain parang, golok dan celurit juga digunakan untuk menyerbu komunitas Bali
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012)