DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Hendrajit: Viral Rencana Orange Revolution Identik Dengan Dokumen Gilchrist April 1965?

image
Pengamat Geopolitik Hendrajit. (Net)

Oleh: Hendrajit, pengkaji geopolitik dan wartawan senior.

ORBITINDONESIA.COM - Sebetulnya rada malas bahas G-30 September 1965 tiap tahun, itu lagi itu lagi. Tapi karena belakangan viral adanya rencana gerakan Revolusi Berwarna ala CIA seperti pernah dilakukan terhadap Georgia, Serbia dan beberapa negara Eropa Timur.

Maka saya mau tulis kembali prakondisi sebelum meletus G-30 September 1965 dari berbagai sudut pandang Barat maupun Timur.

Sebab menurut saya, viral ihwal bakal adanya Orange Revolution terhadap kita itu bukan bocoran. Tapi semacam prakondisi untuk mendorong ide atau motivasi kudeta ketimbang bocoran ihwal adanya rencana.

Baca Juga: Ramalan Nostradamus tentang Misi Pergi ke Mars dan Elon Musk

Berarti, viral rencana Orange Revolution itu sejatinya serupa dan identik dengan Dokumen Gilchrist yang seolah-olah bocoran, padahal cipta kondisi. Jadi dokumen Gilchrist yang mau dikesankan bocoran surat menyurat antara Duta Besar AS dengan Duta Besar Inggris sejatinya merupakan disinformasi yang diinformasikan kepada publik.

Tujuannya, memperuncing pembelahan politik antar berbagai kelompok dan aliran politik, yang semula bara dalam sekam kemudian api berkobar menciptakan kebakaran. Skenario ini berhasil seturut meletusnya G-30 September 1965.

Sekarang, mari kita merekonstruksi cara pandang pihak AS dan blok Barat maupun pihak Cina, yang menjadi alas penyikapan AS dan blok Barat maupun Cina mengenai peristiwa 30 September 1965, baik sebelum maupun sesudah terjadi.

Kalau saya baca-baca lagi beberapa dokumen, baik dari pemerintah Amerika maupun Cina terkait jelang September 1965, ada beberapa frase menarik yang mengisyaratkan sikap dasar mereka dalam memandang Indonesia pada 1965.

Baca Juga: Kondisi Terkini Andhika Ramadhani Usai Ditendang Francisco Rivera dalam Laga BRI Liga 1

Kalau merujuk pada beberapa dokumen dari pihak AS dan Inggris, selalu menekankan polarisasi antara komunis versus "orang-orang kita," yang mereka istilahkan dengan sebutan "Our Local Army Friend." Tanpa memilah terdiri apa saja ragam ideologinya. Pokoknya anti komunis berarti sekutu AS dan Inggris. Titik.

Adapun pemerintah Cina, maupun Partai Komunis Cina, rada unik memang. Selalu mengedepankan istilah Angkatan Darat (sebagai representasi sayap kanan dan pengikut Sukarno), yang tentunya mereka maksud orang-orang berhaluan nasionalis atau sosialis namun berjiwa nasionalis, tapi nonkomunis atau malah antikomunis.

Klasifikasi pemerintah Cina/PKC ini nampak jelas ketika mereka membuat laporan intelijen, misalnya dengan mengatakan: "Di dalam tubuh PKI, ada penyusupan dari unsur-unsur angkatan darat dan pengikut Sukarno. Atau sebaliknya: Di dalam tubuh angkatan darat ada penyusupan dari kader-kader PKI dan pengikut Sukarno.""

Meski ini kesannya sepele dan tidak penting, ini menggambarkan penyikapan dan kebijakan strategis baik Blok Barat maupun Cina, dalam situasi genting jelang September 1965 maupun pasca 1965.

Baca Juga: Destinasi Wisata Telaga Biru Cicrerem Kuningan: Keindahan Permata Tersembunyi di Tengah Hutan yang Memukau

Dalam hal AS/Inggris, polarisasi antara komunis versus anti komunis sebagai dasar kebijakan luar negerinya, maka jelas menyingkirkan Komunis merupakan sasaran antara untuk menggalang kekuatan antikomunis, untuk menggulingkan dan melumpuhkan fron nasional yang bersimpulkan Sukarno dengan dalih membasmi komunis.

Sedangkan frase dari pemerintah Cina/PKC, dengan membedakan antara frase "Pengikut Sukarno" dan Komunis, maka hal itu tersirat memandang kelompok-kelompok nasonalis nonkomunis baik di kalangan militer maupun sipil, hanya sekadar sekutu taktis.

Artinya, istilah pengikut Sukarno yang digunakan Cina sejatinya hanya sebentuk pelecehan bahwa meskipun nasionalis dan anti imperialisme, secara ideologis tetap dipandang musuh dalam jangka panjang.

Dalam beberapa surat Menlu Cina kala itu, Marsekal Chen Yi, kepada pejabat tinggi di PKC dan pemerintahan Cina, maupun dengan para pemimpin komunis negara lain, sempat menggambarkan Bung Karno sebagai mediator sayap kanan dan sayap kiri.

Baca Juga: Menikmati Hidangan Empal Gentong Asem Amarta Khas Cirebon yang Menggoyang Lidah

Ini secara jelas menggambarkan bahwa Cina dari awal memang lebih cenderung mencoba memperalat Sukarno daripada benar-benar memandang presiden pertama RI tersebut sebagai sekutu ideologis terpercaya.

Sehingga dalam salah satu surat Chen Yi pasca September 1965, yang bermuara pada kegagalan Gerakan 30 September 1965, sempat berucap: "Mungkin lebih baik Sukarno digulingkan saja. Selama ini dia mediator sayap kanan dan sayap kiri. Tapi sekarang situasi sudah berubah."

Demikian yang berhasil saya olah berdasarkan studi yang dilakukan oleh Taomo Zhou, seorang mahasiswa program doktor dari Universitas Cornell, dalam sebuah monograf berjudul "Tiongkok dan G30S," yang terangkum dalam buku suntingan Kurasawa Aiko dan Matsumura Toshio, bertajuk "G30S dan Asia, Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin." ***

Berita Terkait