Ivo Mateus Goncalves: Duit dan Politik Elektoral di Bolivia, Venezuela dan Nikaragua
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 05 September 2023 15:30 WIB
Sekali lagi—meskipun mendapat tuduhan dari kalangan oposisi bahwa pemilu kali dipenuhi oleh kecurangan—sejak awal Ortega tidak memainkan politik uang dalan merebut kekuasaan.
Ortega sendiri sebelum melancarkan perlawanan terhadap Anastazio Somoza—adalah anak dari keluarga kelas buruh. Dia mengusung kharismanya sebagai bekas pemimpin FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yang mengulingkan kediktatoran Anastasio Somoza Debayle pada 1979.
Tiga ilustrasi di atas sekadar ingin menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin populis tidak selalu mengandalkan sumber keuangan yang memadai untuk memenangkan pemilu.
Baca Juga: Spoiler Drakor Moving Episode 14 dan 15, Keluarga Manusia Super Lee Gang Hoon Hadapi Masalah Berat
Program yang bisa menjawab kebutuhan rakyat banyak dan tidak terlalu bombastis merupakan senjata paling ampuh untuk menarik dukungan dari masa rakyat. Intinya, program yang populis akan mendapatkan dukungan yang populis.
Kembali ke politik uang, pertanyaannya adalah kenapa partai politik dan politikus doyan menghabiskan khas mereka untuk membeli bilik suara? Apakah pendidikan politik dan pengorganisasian yang dilakukan oleh partai tidak berhasil menarik dukungan politik sehingga politik uang dianggap sebagai kartu as?
Menurut hemat saya, politisi dan partai-partai politik yang membagi-bagikan uang menjelang pemilihan umum dilanda syndrome lack of self confidence serta ada tendensi untuk ‘’memeroleh sesuatu setelah berada di tampuk kekuasaan.’’
Politik model begini, bisa disebut politik kartel, hasilnya akan bergantung kepada berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk para pemilih dan berapa yang berhasil dikumpulkan lewat para penyandang dana yang sebagian besar didominasi oleh para pengusaha mapan dan investor, baik lokal maupun internasional.
Baca Juga: KPK Tegaskan Pemeriksaan terhadap Cak Imin Tidak Bermotif Politik, Ali Fikri: Kami Tegak Lurus
Setelah berada di singasana kekuasaan, para politisi ini ‘harus membayar hutang’ kepada para penyandang dana melalui mega proyek yang akan dibagikan tanpa tender, dan pada saat yang bersamaan melakukan korupsi untuk menutupi ‘kerugian mereka’ akibat khas pribadi yang telah mereka kucurkan untuk para pemilih.