DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Sepertiga Suara Prabowo Pada Pilpres 2019 Akan Direbut Anies

image
Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto

ORBITINDONESIA.COM - Tim sukses Prabowo Subianto mengkalkulasi, suara yang diraih Prabowo pada pilpres 2019 sebesar 45 persen akan beralih ke Anies Baswedan sebesar 15 persen.

Sehingga Prabowo masih memegang 30 persen, dan ini perlu dikompensasi dengan mendapat suara dari pemilih Jokowi di 2019 sebanyak lebih dari 20 persen.

Upaya Prabowo terus menempel Jokowi dilakukan, selain untuk merngambil suara pendukung, juga untuk menghindarkan serangan frontal dari pendukung Jokowi non pemilih Prabowo.

Baca Juga: Ada Apa, Mulai 28 Agustus 2023 Pemprov DKI Jakarta Terapkan Kebijakan 50 Persen WFH untuk ASN

Serangan frontal diperkirakan akan semakin intens mendekati pilpres dan dipicu akan aktifnya kelompok radikal/intoleran dalam kampanye Prabowo. Kelompok radikal/intoleran ini mendukung Prabowo pada pilpres 2014 dan 2019.

Deklarasi empat partai pengusung Prabowo menjadikan 3 kandidat dan koalisi telah jelas. Bergabungnya Golkar merupakan hasil dari:

Pertama, kompromi dari faksi-faksi pendukung dan bukan pendukung Anies, dengan kalkulasi dalam putaran kedua Anies bergabung dengan Prabowo.

Kedua, Prabowo yang pernah jadi bagian dari Golkar membuat preferensi lebih kuat.

Ketiga, sikap netral Jokowi menyebabkan tidak ada kesungkanan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar untuk memilih koalisi dengan Prabowo.

Baca Juga: Negara Religius vs Tidak Religius, Mana yang Lebih Sejahtera

Di sisi lain berkembang implikasi menajamnya persaingan untuk cawapres. Dalam koalisi Prabowo diharapkan Golkar jadi pihak yang mengajukan cawapres dengan memberi kompensasi.

Keberadaan Golkar dan PAN menekan pengaruh organ-organ jaringan HTI/FPI/Wahabi dalam koalisi dan nantinya juga pengaruh Nasdem, PKS, dan PD dalam putaran kedua.

Dari sisi elektabilitas, koalisi Prabowo berpotensi menarik pemilih koalisi Anies karena selain irisan pemilih yang besar, juga pemilih akan cenderung memilih kandidat dengan potensi menang besar.

Koalisi Prabowo saat ini memiliki elemen Orba yang kental. Hal ini menyebabkan berkembang dimensi baru dalam kontestasi 2024, yaitu Neo Orba dan Non Orba. Neo Orba akan kuat melekat pada koalisi Prabowo, sementara Non Orba akan melekat di koalisi Ganjar Pranowo. Dimensi ini akan berkontribusi pada arah polarisasi pemilih di 2024.

Baca Juga: Hasto Kristiyanto PDIP Kritik Proyek Food Estate sebagai Kejahatan Lingkungan

Sementara itu, perubahan kepengurusan PSI yang diikuti dengan komunikasi dengan relawan Jokowi, mengindikasikan upaya untuk memberi alternatif saluran politik bagi pemilih/pendukung Jokowi yang non partai.

Dampak lain dari konstelasi saat ini adalah potensi kemenangan PDIP dan naiknya suara PPP, juga PSI jika tetap mengusung Ganjar akan semakin besar, karena two ways reinforcing effect antara partai dan kandidat.

Tingginya persepsi publik pada Ganjar sebagai kandidat yang akan meneruskan kebijakan Jokowi mengikuti tingginya dukungan pada Jokowi menjadi faktor utama.

Tiga kantong suara yang berpotensi menjadi penentu:

Pertama, pemilih pemula yang cair, tidak memiliki preferensi partai/ideologi, dan 9 tahun terakhir terbiasa dengan kepemimpinan model Jokowi.

Kedua, perempuan yang beberapa waktu terakhir terusik dengan berbagai kasus pelecehan seksual dan cenderung memilih kandidat dengan keluarga ‘ideal’.

Ketiga, penduduk pedesaan yang dulu dijadikan floating mass dan selama 9 tahun terakhir menjalani program-program populis Jokowi.***

Berita Terkait