Musa Asy'arie: Keikhlasan Rasul dan Perempuan Yahudi Tua
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 14 Agustus 2023 14:29 WIB
Oleh: Musa Asy'arie, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2010-2014)
ORBITINDONESIA.COM - Seorang perempuan tua, buta beragama Yahudi tiap hari mencerca Rasulullah di sebuah pojok pasar di Madinah. Hindun -- demikian nama perempuan tua Yahudi itu -- menyampaikan cercaannya kepada Rasulullah di hadapan orang yang tiap hari menyuapi makan ke mulutnya.
Muhammad itu bukan Rasululullah. Muhammad itu pembohong. Muhammad itu pengacau yang merusak agama. Demikian makian Hindun di depan orang yang dengan lembut menyapanya, lalu memberi makan dan menyuapinya.
Hindun merasa ada manusia baik hati yang tiap hari sangat mempedulikannya. Suatu ketika, Hindun yang buta, merasa ada sesuatu yang aneh pada orang baik yang selalu menyuapi makanan ke mulutnya.
Wahai orang baik, kenapa suapan kamu padaku berbeda? Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Dulu kamu lembut, kata-katanya halus, dan makanan yang kau taruh di mulutku halus. Kenapa sekarang berubah? Ujar Hindun.
Orang yang menyuapi perempuan tua menjawab. Betul ibu, saya bukan orang yang biasa menyuapi makanan pada ibu. Saya Abu Bakar, teman orang yang biasa menyuapi ibu. Orang yang biasa menyuapi ibu telah meninggal.
Perempuan tua itu terkejut. Ia tampak sedih sekali. Hindun tak akan menemukan lagi orang yang menyuapi makanan kepadanya dengan lembut.
Siapa orang yang menyuapi makanan kepada saya yang meninggal itu? Tanya perempuan Yahudi penasaran.
Dia adalah Muhammad Rasulullah, jawab Abu Bakar.
Baca Juga: Pengamat Politik Mikhael Raja Muda Bataona: Koalisi Gemuk tidak Menjamin Menang Pilpres
Perempuan tua itu langsung menjerit histeris. Ia merasa sangat bersalah karena setiap hari mencaci Muhammad di hadapannya justru ketika Rasul menyuapi makanan terhadap dirinya.
Ia pun langsung berkata kepada Abu Bakar, minta maaf kepada Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Hindun membaca dua kalimat syahadat di depan Abu Bakar.
Apa di balik cerita itu? Kebaikan tidak perlu dikatakan di mana-mana. Sebab kebaikan tidak perlu dipamerkan. Kebaikan akan berbicara dengan sendirinya. Allah yang akan mengungkapkannya.
Membicarakan kebaikan diri sendiri akan dapat menghilangkan rasa ikhlas yang bisa menggerus makna kebaikan itu sendiri. Kalau orang lain membicarakan kebaikannya, biarkanlah apa yang dikatakannya sesuai pengalaman yang dialaminya.
Baca Juga: Berikut Ini Kronologi Farel Aditya yang Diwajibkan Membayar Ganti Rugi 40 Juta oleh dr Richard Lee
Adalah menjadi hak orang itu untuk mengatakan pengalaman hidupnya. Kebaikan itu terang, dan akan menerangi kehidupan, dikatakan atau tidak.
Rasulullah menyatakan, jika tangan kananmu berbuat baik, hendaklah tangan kirimu tidak mengetahuinya. Hadist ini menjelaskan, betapa seseorang tidak boleh memamerkan perbuatan baik kepada seseorang. Biarlah Allah yang mengetahuinya.
Itulah kondisi ikhlas. Orang yang melakukannya adalah mukhlis. Allah sangat menghormati orang-orang mukhlis karena apa yang dilakukannya semata karena Allah.
Secara psikologis, orang yang ikhlas hatinya akan damai. Kedamaian akan membuat dirinya bahagia. Orang yang ikhlas tidak kemrungsung. Sabar. Ia tidak bersandar kepada penilaian manusia. Tujuan tertinggi hidupnya adalah mendapat ridha Allah.
Itulah yang dilakukan Rasulullah, teladan manusia. Kisah Hindun menjadi contoh, betapa luar biasanya keikhlasan Rasulullah dalam berbuat baik. Keikhlasan dan kesabaran yang dilakukan Rasulullah membuat orang yang mencacinya jatuh cinta kepada Muhammad SAW.
Itulah sebabnya setiap hari Allah mengingatkan umat Islam agar menjaga keikhlasan dalam mengarungi kehidupan. Umat Islam mengucapkan janji untuk menjaga keikhlasan lima kali dalam sehari.
Di setiap salat lima waktu dalam bacaan iftitah. Doa iftitah dibaca sesudah takbir untuk mengawali salat. Itu artinya keikhlasan nilainya tinggi sekali di hadapan Allah.
Allah berfirman: Katakanlah, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’aam: 162).***