Mikrajuddin Abdullah: Reputasi Akademik Indonesia vs Negara negara Anggota G20
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 19 Agustus 2022 09:27 WIB
Oleh: Mikrajuddin Abdullah -Profesor Fisika ITB, Indonesia
Tahun ini Indonesia diberi mandat sebagai ketua negara-negara G20. Hiruk pikuk acara yang terkait dengan kepemimpinan Indonesia sangat terasa akhir-akhir ini. Tetapi menarik untuk menganalisis posisi akademik Indonesia terhadap anggota G20 lainnya.
Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan bereputasi internasional, reputasi akedemik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya.
Berdasarkan Times Higher Education 2022, tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia hanya menempati posisi seribuan: UI (801-1000), ITB (1001-1200), dan UGM (1201+).
Baca Juga: Duncan Clark: Alibaba, Kediaman yang Dibangun oleh Jack Ma
Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik di negara berkembang anggota G20 seperti University of Cape Town, Afrika Selatan (183), University of Buenos Aires, Argentina (176-200), King Abdulaziz University, Saudi Arabia (190), University of Sao Paulo, Brazil (201-250), Indian Institute of Science, India (301-350), Cankaya University, Turki (401-500), dan Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800).
Bahkan peringkat universitas terbaik Indonesia masih jauh di bawah universitas di negara Afrika yang tingkat kemajuannya berada di belakang Indonesia seperti Addis Ababa University, Ethiopia (401-500), University of Nairobi, Kenya (501-600), University of Lagos, Nigeria (501-600), dan Makerere University, Uganda (601-800).
Universitas terbaik di Indonesia hanya setara dengan University of Ghana, Ghana (1001-1200) dan University of Bostwana, Bostwana (1201+).
Data yang menarik adalah Uganda dengan GDP (nominal) per kapita USD 1.060 (Indonesia USD 4.691) dan HDI 0,544 (Indonesia 0,718) memiliki Makerere University dengan ranking 601-800.
Baca Juga: Tulisan HUT Kemerdekaan Indonesia: Ingin Bebas Dari Rutinitas Nine to Five
Universitas ini didirikan tahun 1922 sebagai technical school, hampir sama dengan tipe dan tahun berdirinya ITB. Demikian juga dengan Ethiopia (GDP (nominal) per kapita USD 1.040 dan HDI 0,485) memiliki Addis Ababa University (berdiri tahun 1950) dengan ranking 401-500.
Dari semua anggota G20, hanya Indonesia dan Saudi Arabia yang belum melahirkan pemenang Nobel.
Jumlah pemenang hadiah Nobel dari negara anggota G20 lainnya adalah Argentina (5), Australia (14), Brazil (1), Kanada (28), China (9), Prancis (71), Jerman (112), India (11), Italia (21), Jepang (29), Mexico (3), Rusia (32), Afrika Selatan (11), Korea Selatan (1), Turki (2), Inggris (138), dan Amerika Serikat (400).
Lebih lanjut, mengutip data yang dirilis Microsoft tentang peneliti terbaik dunia dari 24 klasifikasi bidang yang ditentukan berdasarkan h-index, jumlah sitasi, dan jumlah makalah yang dihasilkan, posisi Indonesia juga tidak bagus.
Baca Juga: Denny JA: Soal Korupsi di Sektor Publik, Peringkat Indonesia Lebih Buruk dari Rata-rata Dunia
Jumlah ilmuwan dari anggota G20 yang masuk dalam list tahun 2022 adalah Amerika Serikat (59.025), Inggris (11.971), China (8.585), Jerman (8.104), Kanada (6.001), Australia (5.556), Prancis (5.520), Jepang (5.378), Italia (4.158), Korea Selatan (1.467), India (960), Brazil (867), Afrika Selatan (361), Russia (239), Turki (237), Saudi Arabia (232), Argentina (178), Mexico (177), dan Indonesia (6).
Tampak bahwa posisi Indonesia sangat rendah dengan jumlah yang sangat jomplang dibandingkan dengan anggota G20 lainnya.
Pertanyaan kita bersama: mengapa beberapa universitas di Indonesia yang sudah cukup tua tidak menanjak signifikan presitasinya?
Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang makin baik (kekuatan ekonomi nomor 16 dunia) mengapa peningkatan “kekuatan akademik” Indonesia tidak terjadi?
Baca Juga: Sutardji Calzoum Bachri dan Para Penyair Lain Menggebrak dengan Puisinya di Webinar Satupena
Salah satu faktor yang disinyalir menjadi penyebab adalah kecilnya dana riset di Indonesia. Dari semua negara anggota G20, hanya Indonesia dan Saudi Arabia yang memiliki persentasi dana riset terhadap GDP paling kecil, yaitu 0,3%.
Negara anggota G20 lainya memiliki peesentase yang jauh lebih besar: Amerika Serikat (3,1%), Inggris (1,8%), China (2,2%), Jerman (3,2%), Canada (1,5%), Australia (1,8%), Prancis (2,2%), Jepang (3,2%), Italia (1,4%), Korea Selatan (4,6%), India (1,3%, Brazil (1,3%), Afrika Selatan (0,8%), Russia (1,0%), Turki (1,1%), Saudi Arabia (0,3%), Argentina (0,5%), Mexico (0,9%).
Faktor kedua adalah akademisi Indonesia terlalu santai. Jika melihat data ilmuwan yang dirilis Microsoft, tampak jelas bahwa lokomotif riset dan publikasi di negara luar adalah para profesor.
Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah para dosen “berubah menjadi santai” ketika memperoleh jabatan profesor.
Baca Juga: Jack Miller Pilih Nge Camp Bersama Si Nyonya Jelang Balap MotoGP Austria 2022
Puncak karya dosen di Indonesia terjadi pada periode pengajuan jabatan dari Lektor Kepala ke Guru Besar, dan prestasi tersebut meluruh begitu SK guru besar turun.
Kita dengan mudah mengecak capaian para dosen menggunakan mesin google scholar maupun scopus. Idealnya para guru besar tidak layu untuk berkarya hingga akhir masa pengabdian sesuai dengan janji yang ditulis saat pengusulan jabatan.
Jika kondisi ini berlangsung terus, menjadi pertanyaan kita bersama: apa manfaat perguruan tinggi mengusulkan jabatan guru besar?
Faktor ketiga adalah tidak seragam dalam berkontribusi.
Baca Juga: MotoGP Austria 2022, Jack Miller Ambisi Naik Podium di Red Bull Ring Spielberg
Jika kita analisis data capaian suatu perguruan tinggi, tampak bahwa kontribusi signifikan hanya diberikan oleh sebagian kecil dosen yang itu-itu saja.
Ini berarti hanya sebagian dosen yang “membesarkan” nama institusi dan sebagian lainnya “hanya menikmati” nama besar tersebut.
Tidak ada perlakuan yang berbeda antara dosen yang “mengharumkan” nama institusi dan dosen yang “menikmati keharuman” tersebut.
Pada akhirnya, dosen yang persentasenya kecil tersebut akan sampai pada titik jenuh dalam berkarya, sehingga capain perguruan tinggi mencapai titik jenuh juga.
(Dikutip dari media sosial)***