Diskusi Satupena, Ahmad Nurcholish: MK dan MA Abaikan Keragaman Tafsir tentang Pernikahan Beda Agama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 04 Agustus 2023 03:09 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) mengabaikan adanya keragaman tafsir agama tentang pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan oleh Ahmad Nurcholish, aktivis kebinekaan dan fasilitator nikah beda agama.
Ahmad Nurcholish menyatakan hal tersebut sebagai pembicara dalam diskusi bertema Duduk Perkara Nikah Beda Agama. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 3 Agustus 2023.
Diskusi yang menghadirkan Ahmad Nurcholish itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi webinar itu dipandu oleh Anick HT.
Baca Juga: Hasil BRI Liga 1: Persib Bandung Tahan Imbang Bali United di Stadion Gelora Bandung Lautan Api
Menurut Ahmad Nurcholish, riset lembaganya pada 2005, 2010, 2020 menunjukkan adanya kemajemukan atau keragaman tafsir/pandangan dalam komunitas agama-agama tentang pernikahan beda agama (PBA).
“Banyak yang melarang, tetapi tidak sedikit yang membolehkan PBA,” ujar Nurcholish, yang aktif di Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP).
Nurcholish menjelaskan, dalam Islam pun ada tiga tafsir tentang PBA. Yakni: dilarang/diharamkan secara mutlak; dibolehkan bagi lelaki muslim, tidak sebaliknya; dan dibolehkan secara mutlak.
Menurut Nurcholish, negara atau pemerintah seharusnya dapat berlaku adil. Negara harus melindungi warganya dan memberikan hak sesuai pilihan/preferensi keyakinan agamanya.
Baca Juga: Taklukkan Persita Tangerang, Bhayangkara FC Sukses Raih Kemenangan Perdana di BRI Liga 1 Musim Ini
“Bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang melarang PBA, dilindungi haknya untuk tidak menikah beda agama,” ujarnya.
“Sedangkan, bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang membolehkan PBA, juga harus diberikan haknya untuk menikah sesuai keyakinan tersebut,” lanjut Nurcholish.
Jumlah PBA di Indonesia, kata Nurcholish, sebetulnya lebih banyak dari yang kita perkirakan.
Mengutup data riset Noryamin Aini (UIN Syarif Hidayatullah) pada Maret 2022, ada 9 PBA dari 1.000 pernikahan pada 1980. Meningkat jadi 11 PBA dari 1.000 pernikahan pada 1990. Secara demografis, PBA di perkotaan 3 kali lebih banyak.
Nurcholish menuturkan, melihat sejarah, PBA di Indonesia sudah ada sejak abad ke-8 era Mataram kuno. Rakai Pikatan (Hindu Siwa) menikah dengan Pramodawardhani (Buddha), untuk menyelaraskan hubungan dua kerajaan, Dinasti Sanjaya dan Saelendra.
Lalu, pada abad ke-10, ada pernikahan Ken Arok (Raja Singasari, Hindu) dan Ken Dedes (Buddha). Peristiwa luar biasa ini dicatat oleh para sejarawan.***