Penyalahgunaan Platform Digital Dalam Pemilihan Presiden AS 2016 dan Prospeknya di 2024
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 28 Juni 2023 20:25 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Seperti di Indonesia, Amerika Serikat juga akan melakukan pemilu dan pemilihan presiden pada 2024. Di AS, pemilu ini akan sarat dengan pemanfaatan platform digital.
Masalahnya, platform digital ini –selain bisa membantu penyelenggaraan pemilu—juga rawan terhadap potensi penyalahgunaan. Ini sudah ada contoh kasusnya pada pemilihan presiden 2016 di AS.
Amerika Serikat menyaksikan perkembangan yang signifikan dari disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian di berbagai platform digital pada pemilihan presiden 2016. Berikut adalah beberapa kasus penting:
Kampanye Pengaruh Rusia: Komunitas intelijen AS menyimpulkan bahwa Rusia melakukan kampanye pengaruh komprehensif yang bertujuan merusak proses pemilu.
Operator Rusia memanfaatkan platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan YouTube, untuk menyebarkan disinformasi, menabur perpecahan, dan memperkuat ketegangan politik yang ada.
Berita Palsu dan Misinformasi: Penyebaran artikel berita palsu, yang seringkali dibuat dan disebarluaskan untuk tujuan politik, mendapat perhatian yang cukup besar selama pemilu 2016.
Berita bohong beredar luas, menyasar kedua kandidat utama, dan informasi menyesatkan memengaruhi opini publik. Contohnya termasuk cerita palsu tentang masalah kesehatan kandidat, dukungan palsu, dan teori konspirasi.
Baca Juga: Viral, Perempuan Ini Joget TikTok di Tanah Suci Sampai Halangi Orang Lewat, Diduga Warga Indonesia
Konspirasi Pizzagate: Satu kasus yang sangat terkenal melibatkan teori konspirasi Pizzagate. Klaim palsu bahwa restoran pizza Washington, D.C., terlibat dalam jaringan perdagangan seks anak yang terkait dengan kampanye Hillary Clinton.
Tuduhan tak berdasar menyebar melalui media sosial dan forum online, yang akhirnya berujung pada insiden kekerasan ketika seseorang memasuki restoran pizza dengan membawa senjata api.
Penargetan Kelompok Minoritas: Berbagai contoh ujaran kebencian dan disinformasi yang ditujukan kepada kelompok minoritas terjadi selama pemilu 2016. Pesan rasis dan xenofobia disebarkan, seringkali mengeksploitasi ketakutan seputar imigrasi dan keamanan nasional.
Komunitas seperti Muslim, Hispanik, dan Afrika-Amerika secara khusus menjadi sasaran narasi palsu dan konten yang memecah belah.
Baca Juga: Laga Persija Jakarta Melawan PSM Makassar Tetap di Gelora Bung Karno
Jaringan Bot Otomatis: Jaringan bot otomatis memainkan peran penting dalam memperkuat disinformasi selama pemilu. Jaringan ini menggunakan ribuan akun palsu untuk menyebarkan konten yang menyesatkan, memanipulasi tren, dan menghasilkan dukungan populer yang palsu untuk kandidat atau narasi tertentu.
Kasus-kasus ini menyoroti kerentanan platform digital terhadap penyebaran cepat informasi palsu dan potensi dampaknya terhadap persepsi publik dan pengambilan keputusan.
Mereka juga mendorong diskusi tentang tanggung jawab perusahaan media sosial, perlunya literasi media, dan pentingnya pemikiran kritis saat terlibat dengan informasi online.
Sangat penting untuk tetap waspada, memverifikasi informasi dari sumber yang dapat dipercaya, dan mempromosikan literasi media untuk memerangi penyebaran disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian selama pemilu.***