Harry Darsono PhD: Presiden RI 2024 Harus Orang yang Bukan Pro AS, tapi Pintar Menyiasati Ekonomi China
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 02 Juni 2023 08:15 WIB
Ini ongkosnya mahal sekali. Mereka menarik uang dari berbagai sumber dengan berbagai skema dan cerita, sehingga uang tercatat melimpah dalam neraca tetapi tidak mengalir ke sektor produksi. Ini justru mendorong meningkatnya bubble value.
Ketiga, yang paling bahaya adalah kemelimpahan sumber daya di sektor moneter itu mendorong terjadinya inflasi. Maklum, sektor real tidak bertambah, uang terus bertambah. Yang jadi korban adalah publik dengan meroketnya harga barang di pasar.
Ini yang disebut dengan imbalance economy. Dampaknya sangat sistemik. Karena sudah menyangkut struktural. Proses recovery sangat sulit dan ongkosnya teramat mahal.
Kempat. Para fund manager berkelas dunia sudah berpikir mendekati tahap closed file terhadap peran AS sebagai pendorong pertumbuhan PDB dunia. Bagi mereka mengelola aset berbendera Amerika itu sudah no hope dan semakin lama semakin omong kosong.
Udah tidak waras. Apalagi utang terus meroket, sudah tembus di atas 100 persen dari PDB. Sementara kebijakan paket ekonomi Biden ditertawakan oleh Kongres. Presiden sudah tak ada reputasi lagi memberikan hope kepada rakyat.
Dengan empat hal tersebut, Indonesia harus cerdas mengantisipasi perubahan global. Hal ini sudah diperingatkan oleh riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada Desember 2021, bahwa AS sudah tidak lagi bisa diharapkan.
Posisinya sudah bergeser ke China. Tahun 2023 atau 2024, AS akan masuk lubang resesi. Jadi Presiden RI setelah Jokowi harus orang yang bukan pro AS. Tapi harus orang yang jago menyiasati ekonomi China.
Penulis: Sir Dr. Harry Darsono PhD. ***