Harry Darsono PhD: Presiden RI 2024 Harus Orang yang Bukan Pro AS, tapi Pintar Menyiasati Ekonomi China
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 02 Juni 2023 08:15 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Ini adalah analisis makro ekonomi saya menjelang dan pasca Pemilu 2024. AS sudah tutup buku (closed file). Setelah The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan pada 4 Mei 2022, bursa bereaksi.
Saham unggulan di AS berjatuhan. Apple, rontok $220 miliar. Microsoft telah kehilangan sekitar US$ 189 miliar. Tesla menyusut US$ 199 miliar. Amazon jatuh sebesar US$ 173 miliar. Alphabet, (Google), jatuh sebesar US$ 123 miliar, Nvidia kehilangan US$85 miliar. Meta Platforms induk Facebook telah kehilangan US$70 miliar.
Kalau ditotal, market telah kehilangan USD 1 triliun. Kejadian seperti ini sudah diprediksi sejak tahun sebelumnya. Terutama dampak dari tapering atau kenaikan suku bunga.
Baca Juga: Saiful Huda Ems: AHY, Purnawirawan Mayor yang Mimpi Jadi Capres atau Cawapres 2024
Sebelum invasi Rusia ke Ukrania, saya sudah restruktur rekening ETF saya. Pengalaman krisis 1998 dan 2008 mengajarkan banyak hal kepada saya. Saya juga menulis di blog dengan judul “Prahara ekonomi, hanya masalah waktu”.
Itu saya tulis pada bulan november 2021. Makanya minggu terjadi killing field di bursa, saya aman saja. Lantas apa penyebab sampai cepat sekali badai tornado itu datang. Apakah hanya karena kebijakan moneter AS? Mari kita analisis sederhana ala pedagang sempak.
Pertama, terjadinya over capacity di semua sektor produksi dan manufaktur. Terutama sektor teknologi. Yang peningkatannya bukan berdampak kepada efisiensi tetapi justru kerakusan yang berlebihan.
Sehingga terjadi bubble value. Ini sebenarnya teori dasar keuangan. Semua tahu dampak dari over capacity yang berujung over value. Tetapi para otoritas tidak berdaya menghalangi proses bubble value ini.
Kedua, dampak dari over capacity dan over value ini, memaksa para fund manager yang mengelola portfolio terjebak dalam bisnis ilusi. Memainkan harga demi menjaga aset agar tidak busuk, walau tahu sebagian besar aset yang mereka kelola sudah deadduck. Tidak ada hope.
Ini ongkosnya mahal sekali. Mereka menarik uang dari berbagai sumber dengan berbagai skema dan cerita, sehingga uang tercatat melimpah dalam neraca tetapi tidak mengalir ke sektor produksi. Ini justru mendorong meningkatnya bubble value.
Ketiga, yang paling bahaya adalah kemelimpahan sumber daya di sektor moneter itu mendorong terjadinya inflasi. Maklum, sektor real tidak bertambah, uang terus bertambah. Yang jadi korban adalah publik dengan meroketnya harga barang di pasar.
Ini yang disebut dengan imbalance economy. Dampaknya sangat sistemik. Karena sudah menyangkut struktural. Proses recovery sangat sulit dan ongkosnya teramat mahal.
Kempat. Para fund manager berkelas dunia sudah berpikir mendekati tahap closed file terhadap peran AS sebagai pendorong pertumbuhan PDB dunia. Bagi mereka mengelola aset berbendera Amerika itu sudah no hope dan semakin lama semakin omong kosong.
Udah tidak waras. Apalagi utang terus meroket, sudah tembus di atas 100 persen dari PDB. Sementara kebijakan paket ekonomi Biden ditertawakan oleh Kongres. Presiden sudah tak ada reputasi lagi memberikan hope kepada rakyat.
Dengan empat hal tersebut, Indonesia harus cerdas mengantisipasi perubahan global. Hal ini sudah diperingatkan oleh riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada Desember 2021, bahwa AS sudah tidak lagi bisa diharapkan.
Posisinya sudah bergeser ke China. Tahun 2023 atau 2024, AS akan masuk lubang resesi. Jadi Presiden RI setelah Jokowi harus orang yang bukan pro AS. Tapi harus orang yang jago menyiasati ekonomi China.
Penulis: Sir Dr. Harry Darsono PhD. ***