Mari Berpihak pada Nurani dan Keadilan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 12 Agustus 2022 16:41 WIB
Bisa jadi malah sering mereka merugi karena berbagai alasan terkait iklim, hama binatang dan tumbuhan yang menyerang tanaman. Lagi-lagi kusebut juga mereka kecil karena hidup mereka memang sekian lama tercekik oleh tengkulak, hutang dan berbagai bentuk pungutan liar.
Dari cerita N pula, bisa kuketahui bahwa praktik pungut-memungut masih terjadi terhadap petani penggarap oleh karyawan Perhutani di tingkat tapak.
Di Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, tempat N lama menggarap, menurut kisahnya, masih ada pungutan yang membebani para petani kecil ini.
Bagaimana cerita awal para petani kecil gurem ini bisa masuk ke lahan Perhutani? N bercerita padaku. Sepuluh tahun lalu, ia dan ayahnya diajak oleh mantri dan mandor dari RPH Tempuran, KPH Semarang, untuk masuk menggarap di lahan Perhutani, di wilayah Ngombak.
Baca Juga: Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo Ditangkap KPK, 34 Orang Pejabat Ikut Terseret Diamankan
Dari desa asal (sekarang menjadi Kelurahan Truko), ada pula 15 petani lain yang diajak menggarap. Ditempuh dengan sepeda motor, lama perjalanan dari Truko ke lahan garapan di Ngombak sekitar 30 menit. Masing-masing petani ketika itu dipinjamkan lahan garapan seluas satu hektar.
Pada awalnya, dikatakan oleh oknum Perhutani bahwa petani akan membersihkan lahan dan menanam gmelina (sejenis jati putih). Juga akan ada jagung sebagai tanaman sela. Lalu petani juga dijanjikan pasokan bibit tanaman dan pupuk dari Perhutani.
Sesudah panen dan hasil terjual akan ada bagi hasil. Nyatanya, dari pengalaman N dan ayahnya, tidak pernah ada pasokan bibit dan pupuk dari Perhutani, kecuali satu kali pernah mendapat bibit gmelina, yang ditanam lalu mati.
Petani justru selalu diarahkan menanami jagung. Petani sejak awal terjebak meminjam dana atau mendapat pasokan bibit dari tengkulak setempat.
Baca Juga: Jadwal Liga 1: Bali United vs Arema FC, Head to Head, Prediksi Skor Hingga Susunan Pemain