DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Esthi Susanti Hudiono: Kanon Literasi dan Satupena

image
Esthi Susanti Hudiono tentang Kanon Literasi dan Satupena

Ikuti webinar kemarin langsung terbaca masalah mengapa tiada kanon literasi di Indonesia. Kita masih bersemangat proyek dan berorientasi pada penguasa dan pemegang otoritas yang berbau feodal dan patriarki dengan bayang-bayang oligarki.

Tiadanya kanon literasi adalah penanda Indonesia belum punya karakter dan style. Apa yang kita hargai bersama? Debat publik yang ada masih dalam wacana adalah pluralisme dan wong cilik (?). Dunia barat menampakkan karakternya yakni keterbukaan dan kejujuran.

Masalah yang langsung terpikir kemarin adalah narasi Pancasila. Dunia pemikiran, praktisi dan pendidikan belum sinkron. Buku-buku pelajaran yang beredar masih tonjolkan Mohammad Yamin sebagai penggagas Pancasila.

Padahal ia ternyata bukan penggagas pertama. Posisinya adalah bagian dari narasi yang ada seperti Hatta. Posisi Soekarno diganti Mohammad Yamin agar penguasa orde baru merasa senang.

Baca Juga: Jonathan Latumahina Emosi karena Mario Dandy Bisa bisanya Main Gitar di Polsek, Berharap Dikeluarkan Ayahnya

Ini ngerinya ilmuwan berkolaborasi dengan penguasa. Di masa PDIP jadi partai pemenang lalu ada tindakan politik yang tetapkan pendiri Pancasila adalah Soekarno dengan penetapan hari lahir Pancasila.

Jadi saat ini belum ada sinkronisasi Badan Ideologi Pancasila, dunia pemikiran dengan karyanya (buku-buku Kang Yudi Latief, Pak Arief, dan banyak lainnya), dunia pendidikan.

Seharusnya dunia pemikiran dalam lahirkan literasi dengan metodologi ketat inilah yang dijadikan dasar sinkronisasi dan konsolidasi.

Ini tanggung jawab birokrasi pemerintah yang seharusnya tak menjadi pengabdi penguasa sepenuhnya. Mengabdi konstitusi dengan alat perekat inilah yang seharusnya menjadi bintang penuntun.

(Oleh: Esthi Susanti Hudiono) ***

Halaman:
1
2

Berita Terkait