Percakapan tentang Pilpres 2024 dan Alumni Pittsburgh
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 03 Mei 2023 08:11 WIB
Tahun 1992, ketika saya ke Pittsburgh, suasana politik di sana menuju pada pertarungan capres antara incumbent George Bush melawan Bill Clinton.
George Bush sebelumnya pernah menjadi wakil presiden bagi Ronald Reagan. Di tahun 1981, Ronald Reagan pernah ditembak oleh John Hinkley tapi Ronald Reagan tidak mati.
Halaman kampus di taman terdapat banyak sekali mahasiswa sedang pidato seperti berkampanye. Ada satu area di sana yang mem- pahlawan- kan John Hinkley.
George Bush hanyalah foto kopy Ronald Reagan, ujar yang berpidato. “Reaganomics membuat kesenjangan ekonomi semakin lebar. Kita menderita karena Reagan. Itu sebabnya John Hinkley yang menembak Reagan itu pahlawan kita.”
“Wah, ujar saya dalam hati. Di sini, penembak presiden bisa dielu- elukan. Bebas sekali mereka. Sementara di Indonesia era pak Harto saat itu, kita para aktivis jika mau mengkritik pak Harto saja kadang harus banyak menyensor diri sendiri.”
Saya sempat pula di Pittsburgh, momen- momen pertama, mengalami sejenis trance, kesenangan yang alang kepalang. Yaitu ketika saya masuk ke perpustakaan utamanya, yang terdiri dari sembilan lantai.
Buku yang hanya saya dengar saja di Indonesia, saya temukan di sana. Ada jutaan kopi buku.
Juga tersedia pusat video film dunia. Hampir semua film pemenang Oscar, Cannes dan lain lain dikoleksi dan bisa ditonton.
Di Pittsburgh, saya sangat jarang bergaul. Di luar waktu kuliah, waktu banyak saya habis kan hingga larut malam di perpustakaan dan ruangan untuk menonton film.
Pittsburgh menjadi sejenis gua hira bagi saya. Jika Nabi Muhammad mendapatkan wahyu di gua hira, saya mendapatkan informasi, pengalaman batin dan pembentukan mindset di sana.