Hamid Basyaib: Pidato Penjara Anas Urbaningrum
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 13 April 2023 16:49 WIB
Di Korea Selatan ada Kim Dae-Jung (pemimpin Partai Demokrat), yang divonis hukuman mati; lalu jadi presiden dan meraih Nobel Perdamaian.
Baru dua tahun lalu ada Alexei Navalny di Moskow. Dari masa yang lebih jauh, di Italia Antonio Gramsci bahkan muncul dengan buku kecil “A Prison Notebooks”, yang bahkan meyajikan teori tentang hegemoni serta fungsi dan peran intellegentsia, yang masih sering dikutip kalangan sayap kiri sampai sekarang.
Mereka semua sama: menyampaikan sesuatu yang bermakna, dari segi politik — renungan personal maupun publik — dan dimensi-dimensi yang lebih luas, sekeluarnya dari penjara (Gramsci dihukum 20 tahun penjara pada 1926, dan meninggal di dalamnya pada 1937).
Meski kasus-kasus mereka berbeda dari kasus Anas, ia bisa memetik inspirasi dari pidato-pidato mereka (paling sedikit karena kesamaan konteks).
Sebuah pidato politik, bahkan dalam situasi normal, mestinya memuat pernyataan dan argumen yang gamblang, yang mampu membangkitkan inspirasi pendengarnya untuk melihat sesuatu dengan cara baru; atau bertekad untuk melakukan tindakan tertentu. Statemen-statemennya harus punya daya sentuh emosional dan kekuatan pengimbau nalar.
Sayang sekali Anas Urbaningrum tidak memanfaatkan kesempatan penting itu. Ia memilih cara lain — yang membuat kita hanya mampu menyayangkannya. ***