Tentang Zat Kimia Berbahaya pada Kemasan, Pakar Hukum UI Sebut Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Buat Kebijakan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 03 Maret 2023 11:43 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Pakar hukum dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Ima Mayasari, mengatakan, untuk menyatakan zat kimia yang ada dalam kemasan pangan berbahaya atau tidak bagi kesehatan, harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu terkait potensi berbahaya dari zat-zat tersebut.
Selain itu, Ima Mayasari menegaskan, juga diperlukan pandangan dari para pakar yang profesional di bidangnya, yang mengatakan adanya potensi bahaya dari zat kimia tersebut.
“Dalam konteks kesehatan itu harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu dengan potensi bahaya dari zat kimia tersebut. Dalam konteks ini kan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk mengetahui dari faktor resikonya,” ujar pakar hukum UI ini.
Baca Juga: Webinar Satupena, Satrio Arismunandar: Nilai-nilai Jawa Menghormati dan Menjaga Kerukunan Sosial
Dari kajian-kajian setelah melalui penelitian dan lain sebagainya, lanjut Ima, barulah kemudian dipertimbangkan, apakah aturan-aturan yang ada itu sudah memenuhi atau tidak.
“Kalau kemudian dampaknya itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan itu belum ada pengaturannya, itu yang harus disesuaikan dari regulasinya. Tapi, basisnya adalah tetap kajian berbasis risiko, yang harus dilakukan terlebih dahulu,” ucapnya.
Jadi, menurut Ima, semua itu harus melalui penelitian. Hal itu juga merujuk ke yang namanya sekarang ini era kebijakan yang berbasis risiko.
“Jadi, harus dilakukan kajian dan meminta pandangan dari para ahli untuk mencari literatur-literatur terlebih dahulu sebelum melakukan kajian ilmiah,” katanya.
Baca Juga: Mario Dandy Satriyo Harus Belajar dari Muhammad Rafdy Anak Wakil Walikota Tidore, Hidup Sederhana Jadi Kuli!
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pakar Hukum Persaingan Usaha, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li meminta, agar regulator tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan saja.
Tetapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha. Dalam hal kebijakan BPOM, itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Artinya, kata Ningrum, dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakan, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik.
Hal ini meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Baca Juga: Ada Perdagangan Orang untuk Pekerja Seks di Pesisir Barat Lampung, Kepolisian Bergerak
Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
“Jadi, membuat peraturan itu nggak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampanglah pokoknya,” tukas Ningrum.
Ningrum menuturkan, persaingan usaha itu ada yang namanya natural barrier to entry dan artificial barrier to entry. Yang natural, menurut Ningrum, itu harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan kebutuhan industri.
Tapi, lanjutnya, yang artificial ini suka sekali ada regulasi-regulasi yang menjadikan orang ada beban untuk masuk ke dalam satu pasar.
Baca Juga: WorldSBK 2023: Hasil FP1, Michael Rinaldi Dan Ducati Berjaya
Dia mencontohkan, seperti kebijakan BPOM terkait pelabelan “berpotensi mengandung BPA” pada galon guna ulang.
Menurutnya, kebijakan ini jelas akan menaikkan biaya dari industri yang menjual galon guna ulang. “Peraturan ini jelas akan menjadi satu level beban, yang akan dihadapi pelaku usaha yang memproduksi air kemasan galon guna ulang,” tuturnya.
Kenapa kebijakan BPOM ini bisa terjadi, menurut Ningrum, itu karena berbagai lembaga dan kementerian belum banyak dibekali dengan apa yang disebut dengan competition checklist.
“Akibatnya, peraturan-peraturan itu akan menjadi beban bagi industri dan akan berdampak kepada daya saing suatu perusahaan, karena dia memerlukan biaya produksi ini dan itu. Belum lagi bertanding soal iklan,” ucapnya.
Baca Juga: Netizen Bandingkan Kecantikan Linda Pujiastuti dengan Merthy Kushandayani, Istri Sah Teddy Minahasa!
Ningrum mengatakan, membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatannya itu tidak salah. Tapi, lanjutnya, dampak peraturannya juga harus mempertimbangkan sisi persaingan usahanya yang dimunculkannya.
“Dalam rangka kesehatan boleh-boleh saja untuk jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Tetapi, tetap harus dilihat juga dampaknya terhadap persaingan usaha,” katanya.
Baru-baru ini, beberapa pakar hukum hingga guru besar diberitakan menemui Wantimpres untuk mendesak agar pelabelan “berpotensi mengandung BPA” segera dilakukan terhadap kemasan air minum galon berbahan Polikarbonat.
Sementara, beberapa pihak melihat kebijakan ini terkesan diskriminatif dan mengandung unsur persaingan usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) salah satu yang mengendus hal ini. Komisioner KPPU, Chandra Setiawan melihat polemik kontaminasi BPA, yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi, yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
“Sebabnya, 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya.***
Silakan simak berita lain dari ORBITINDONESIA.COM di Google News