DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Ketika Menari Bisa Begitu Mematikan

image
Buku wabah menari di Prancis

ORBITINDONESIA - Apa yang pertama terlintas di benak Anda jika mendengar kata "menari"? Bisa jadi yang Anda pikirkan adalah bentuk seni yang menunjukkan tubuh yang meliuk dengan gemulai serta indah, seirama dengan lantunan musik yang mengirinya.

Namun pernahkah Anda terpikir bahwa menari mematikan? Itulah yang pernah terjadi dalam penggalan sejarah di Eropa. Tepatnya di Kota Strasbourg, Prancis pada Juli 1518.

Seorang penulis sekaligus sejarawan kedokteran dari Michigan State University bernama John Waller membawa gambaran mengenai apa yang disebut sebagai "wabah menari" itu ke dalam bukunya.

Baca Juga: Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Jokowi Isyaratkan untuk Hati-Hati Ekspor Beras

Buku itu berjudul A Time to Dance, A Time To Die: The Extraordinary Story of the Dancing Plague of 1518, yang terbit pada 2009.

Bermula pada suatu hari di musim panas yang terik di bulan Juli 1518, seorang wanita bernama Frau Troffea melangkah ke alun-alun di Strasbourg dan mulai menari.

Pada awalnya orang di sekitarnya hanya menonton. Mereka terusik dengan rasa ingin tahu dari tampilan publik yang tidak biasa ini: wanita menari tanpa musik dan tanpa henti.

Wanita itu menari bukan dalam hitungan menit atau jam, melainkan hari. Dia menari selama hampir satu minggu. Kadang-kadang dia jatuh karena kelelahan.

Baca Juga: Keluarkan SE, Mendagri Tito Minta Kepala Daerah Kendalikan Inflasi dengan APBD

Tetapi dia seakan tidak kuasa mengendalikan tubuhnya sendiri dan terus membuat gerakan menari. Wanita itu pun melawan peringatan dari raganya yang lelah, sakit, lapar dan bahkan malu.

Ketika kemudian orang-orang di sekitarnya mulai menyadari ada yang tidak biasa dan membawa wanita itu untuk diberikan pertolongan, sayangnya sudah terlambat.

Puluhan orang lainnya sudah bergabung untuk menari tanpa kendali. Jumlah itu terus berkembang hingga mencapai ratusan orang menari pada Agustus.

Mereka tidak bisa menjelaskan diri mereka sendiri. Mereka tidak ingin menari. Namun tubuh mereka seolah-olah dipaksa untuk terus menari, bahkan dengan kaki berlumuran darah dan anggota badan kelelahan.

Baca Juga: Mereka Ramai ramai Menentang Politkus Demokrat Benny K Harman yang Mengusulkan Penonaktifan Kapolri

Satu persatu dari mereka pun hanya berhenti ketika tumbang atau meninggal dunia karena kelelahan, serangan jantung atau stroke, setelah menari berhari-hari tanpa henti di tengah musim panas yang terik.

Dokumen sejarah merekam dengan jelas bahwa para korban itu menari. Namun tidak diketahui mengapa mereka menari, bahkan hingga meninggal dunia.

Beberapa teori yang berkembang setelahnya mengaitkan kejadian itu dengan hal supranatural hingga kondisi alami.

Penggalan sejarah itu menyisakan teka-teki selama beberapa abad setelahnya.

Baca Juga: Idul Ghadir, Festival Muslim Syiah yang Merayakan Ali Sebagai Pemimpin Umat Penerus Nabi

Kemudian John Waller muncul dengan catatan, yang mencoba menjelaskan tentang peristiwa aneh itu. Dalam bukunya, dia menghidupkan kembali gambaran dan kisah dari peristiwa di abad pertengahan akhir tersebut.

Pada saat yang sama, John Waller dengan latar belakang keilmuannya, menawarkan wawasan yang segar tentang bagaimana mungkin orang berperilaku melampaui batas daya tahan dan irasionalitas ketika didorong oleh ketakutan.

Judul buku      : A Time To Dance, A Time To Die: The  Extraordinary Story of the                                Dancing Plague of 1518

Penulis            : John Waller

Penerbit         : Icon Books

Tahun Terbit  : 2009

 

Sumber: Aplikasi Buku Pintar AHA

Peringkas: Amelia Fitriani

Editor: Satrio Arismunandar***

Berita Terkait