DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Perang yang Tak Berujung, Aksi Militer AS di Dunia

image
Militer AS diperintahkan supaya memakai penampil komandan elektro-optik untuk kendaraan tempur lapis baja Bradley

ORBITINDONESIA - Atas nama apa sebenarnya negara meminta warga negaranya untuk melakukan perang, pembunuhan dan mati? Atas nama apa suatu negara bersatu? Kira-kira begitu refleksi dari buku Phil Klay berjudul Uncertain Ground.

Buku ini merupakan hasil pengumpulan esai-esai dalam dekade terakhir oleh Klay, yang diperkuat dengan pengamatannya sendiri, selama bertugas di kemiliteran negaranya sebagai marinir. Penulis yang pengamat perang ini merupakan pemenang The National Book Award pada 2014.

Tak seperti masa-masa perang sebelumnya, saat ini orang yang bergulat dengan konflik dan perang tak berkesudahan pasca 9/11 relatif lebih sedikit. Buku ini menyebutkan, hanya 1% dari warga Amerika yang terlibat dalam konflik tersebut.

Baca Juga: Baim Wong Banjir Hujatan Soal Citayam Fashion Week: Demi Allah Saya Tidak Dendam

Perbandingan kuantitas antara militer dan masyarakat sipil itu menciptakan jurang pemisah di antara keduanya. Semakin sedikit yang menyadari atau merasakan bahwa konflik dan perang itu masih terjadi. Para tentara yang berjuang mati-matian tampak tidak mencolok bagi kebanyakan orang Amerika (masyarakat sipil).

Dalam pengantarnya, Klay juga mengakui, “Apa artinya bagi sebuah negara yang selalu berperang, tetapi hanya sedikit yang terlibat langsung dalam peperangan itu? Perang tetap menjadi bagian besar dari siapa kita sebagai orang Amerika.”

“Hampir seperenam dari anggaran Federal kita digunakan untuk pertahanan: mengerahkan pasukan di 800 pangkalan militer di seluruh dunia dan terlibat dalam misi kontrateror di 85 negara. Namun, berkat serangkaian pilihan strategi politik yang dilakukan, aktivitas militer tersebut tak tampak, bahkan tidak disadari oleh sebagian besar warga Amerika,” tuturnya.

Jurang pemisah itu tampak menjauh dan mendalam, ketika para veteran kembali ke kehidupan masyarakat sipil.

Baca Juga: Kendaraan Bermotor yang Pajaknya Mati Dua Tahun akan Dihapus dari Data

Bagi mereka, ucapan “terima kasih atas pelayanan Anda!” terasa sekadar basa-basi, untuk menutupi ketidakpedulian yang lebih dalam terhadap resiko nyawa/fisik, emosional, dan moral perang yang mereka alami.

Klay menulis, “Ini adalah pertaruhan personal dalam perang yang dialami para veteran secara mendalam, dan itu sangat sulit dirasakan oleh warga sipil.”

Tidak ada warga sipil yang dapat menanggung beban moral yang dirasakan oleh para pasukan perang. Namun, Klay berharap semua dapat menunjukkan komitmen yang sama terhadap negara mereka.

Hal itu dapat dimulai dari keseriusan tentang konsekuensi pergi berperang. Presiden harus secara rutin menjelaskan di hadapan Kongres (Badan Legislatif Amerika) tentang di mana dan mengapa dia menempatkan pasukan militernya dalam bahaya. Kemudian, Kongres yang akan memilih untuk mendukung rencana tersebut atau tidak.

Baca Juga: Terungkap, Ternyata Ini yang Jadi Alasan Baim Wong Daftarkan Citayam Fashion Week ke PDKI, Nggak Nyangka

Walau pun konteks yang dibicarakan buku ini adalah Amerika, tampaknya yang jadi perhatian Klay juga relevan untuk dipikirkan kita di Indonesia.

Kedua pertanyaan di atas tadi sangat berkaitan satu sama lain. Bagaimana kita menjawabnya, akan sangat menentukan ke arah mana kita akan membawa negara kita. ***

Judul Buku      : Uncertain Ground: Citizenship in an Age of Endless, Invisible War

Pengantar      : Phil Klay

Penerbit         : Penguin Press

Tahun Terbit  : 2022

 

Sumber: Aplikasi Buku Pintar AHA

Peringkas: Hana Hanifah

Editor: Satrio Arismunandar

 

 

 

Berita Terkait