Dana Haji yang Berkeadilan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 25 Januari 2023 19:45 WIB
ORBITINDONESIA - Menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam. Hukumnya wajib. Namun, berbeda dari empat rukun Islam lainnya, ibadah haji memiliki prasyaratnya. Yakni, memiliki kemampuan, istitha'ah, baik secara materi maupun fisik untuk melaksanakan ibadah penyempurna rukun Islam tersebut.
Di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, lebih dari 5 juta umat Islam mengantre untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Dengan kuota berkisar 200 ribu per tahun, waktu tunggu pun mencapai puluhan tahun.
Lamanya waktu tidak membuat calon jemaah haji patah arang. Mereka rela menyimpan uang berupa setoran awal berpuluh tahun pula lamanya.
Di Indonesia, ibadah haji tidak pernah sepi peminat. Jumlah dana abadi haji pun mencapai Rp166,01 triliun, yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji.
Namun, tahun ini polemik mencuat ketika biaya perjalanan ibadah haji diusulkan naik 73%, dari tahun sebelumnya sekitar Rp39,8 juta menjadi Rp69,8 juta per jemaah.
Musababnya, kenaikan komponen biaya dan komposisinya. Penaikan biaya operasional haji ini sebenarnya sudah dilakukan pihak Arab Saudi sejak tahun lalu.
Lonjakan biaya haji sejak tahun lalu itu disebabkan penaikan mendadak biaya masyair atau biaya paket pelayanan angkutan bus di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, termasuk juga faktor kurs rupiah, inflasi, dan risiko.
Baca Juga: Harlah 1 Abad NU, Simak Arti Filosofis Logo Nahdlatul Ulama yang Mungkin Belum Anda Tahu
Selisih estimasi BPIH tahun ini dan tahun kemarin pun sebenarnya tidak terlalu jauh.
Jika tahun ini diproyeksikan Rp98,8 juta, itu hanya berbeda Rp1,1 juta jika dibandingkan dengan tahun lalu yang dipatok Rp97,79 juta per jemaah. Akan tetapi, kenapa biaya yang harus dibayarkan jemaah melambung?
Karena, tahun lalu, kekurangan BPIH itu ditutup dengan dana talangan yang diperoleh dari nilai manfaat pengelolaan dana abadi haji. Nilai manfaat menanggung 59 persen dari BPIH, sedangkan jemaah hanya menanggung 41 persen.
Yang dibayarkan jemaah tidak sampai separuh dari biaya haji sesunggguhnya. Jika dipaksakan persentase talangan tetap besar, akumulasi nilai manfaat akan tergerus. Jelas tidak adil bagi calon jemaah tunggu.
Baca Juga: Yang Sedang Butuh Pekerjaan di Ciawi, Ada Lowongan Kerja di PT Nutrifood Indonesia (Nutrifood)
Untuk itulah, komposisi tanggungan nilai manfaat menjadi 30%. Artinya, biaya haji yang harus dibayarkan jemaah naik menjadi 70%.
Gelombang protes pun menyasar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dianggap kurang cakap untuk meningkatkan nilai manfaat.
Nilai manfaat dana haji pada akhir 2022 mencapai Rp10,08 triliun, turun 4 persen ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar Rp10,5 triliun.
Karena itulah, perlu ada langkah-langkah strategis lain untuk mengantisipasi ketidakpastian BPIH karena faktor ekonominya, mengingat proyeksi dana jemaah yang terkumpul dalam dana abadi haji ada yang mencapai daftar tunggu lebih dari 50 tahun.
Baca Juga: Keunikan Bulan Februari 2023 yang Hanya Terjadi Setiap 823 Tahun
Misalnya untuk di hulu dengan mematok dana talangan disesuaikan dengan nilai manfaat yang didapat pada tahun berjalan, tentunya dengan pengelolaan yang transparan.
Dengan begitu, calon jemaah tetap mendapat manfaat pengelolaan dananya.
Pun, prinsip istitha'ah tecermin dalam pembiayaannya. Adapun untuk di hilir, perlu rasanya Indonesia mengikuti langkah negeri tetangga Malaysia yang banyak berinvestasi di Arab Saudi.
Negeri jiran itu memiliki layanan akomodasi seperti perhotelan, transportasi, dan makanan untuk kepentingan jangka panjang.
Baca Juga: Harlah 1 Abad NU, Simak Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama di Indonesia
Selain untuk bisa menekan spekulasi kenaikan harga karena pembaruan kontrak tiap tahun sistem sewa, juga akan memberi dampak pelayanan yang lebih baik.
Fasilitas yang prima dibutuhkan untuk menyokong jemaah haji Indonesia yang merupakan rombongan terbesar di dunia dan jumlahnya akan terus bertambah.
(Dikutip dari video editorial Media Indonesia).***