Rektor Prabuningrat Menolak Sogokan Besar
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 26 Agustus 2022 09:37 WIB
Oleh: Hamid Basyaib, alumnus UII
Tak lama setelah menjabat Rektor UII (Universitas Islam Indonesia), Yogyakarta, GBPH Prabuningrat didatangi seorang tamu ramah yang membawa sertifikat tanah sekitar 2000 m2.
Di pertengahan 1970an itu, UII hanya punya satu kampus di Jalan Cik Ditiro, yang digunakan untuk perkuliahan semua fakultas (Ekonomi, Hukum, Teknik Sipil). Sangat sering mahasiswa juga harus kuliah di tempat pinjaman, Masjid Syuhada, Kotabaru, tak jauh dari kampus Cik Ditiro.
Tamu Pak Prabuningrat dengan santun dan rendah hati meminta agar tuan rumahnya memastikan anak laki-lakinya diterima di Fakultas Hukum UII. Untuk itu ia bersedia memberikan sebidang tanahnya yang cukup luas di jalan raya Taman Siswa yang lokasinya sangat baik.
Baca Juga: John C Maxwell Adalah Pendaki Gunung, Tetapi Bukan Sembarang Gunung
Pak Prabuningrat, salah satu putera Hamengku Buwono VIII dan kakak tiri Sultan Hamengku Buwono IX, menjelaskan bahwa ia, meski berposisi sebagai rektor, tidak berwenang menjamin diterimanya anak si tamu. “Semuanya harus berdasarkan ujian masuk, dan merupakan wewenang fakultas masing-masing,” katanya.
Ketika si tamu merengek dan membujuk, dan merasa bahwa memasukkan seorang mahasiswa ke universitasnya adalah urusan kecil, Pak Prabuningrat yang tinggi besar dan selalu berpeci hitam dan kemeja putih lengan pendek itu, jengkel dan meminta sang tamu segera keluar dari rumahnya.
Ia merasa tersinggung bahwa kursi mahasiswa di universitas yang dipimpinnya seolah bisa diperdagangkan dengan mudah.
Ia terhina bahwa lembaga pendidikan yang ia jaga kemuliaannya itu bisa dibeli dengan murah — berapa tinggi pun harga yang ditawarkan baginya adalah harga yang murah.
Baca Juga: Ferdy Sambo Dipecat, Lima Anggota Komite Etik Sepakat dan Tidak Ada Perdebatan
Si tamu yang segera ciut nyalinya menghadapi ketegasan tuan rumah yang sangat berwibawa itu buru-buru keluar, lupa pada map berisi sertifikat yang dibawanya.
Ketika Pak Prabuningrat melihat map itu tergeletak di meja ruang tamu rumahnya, ia segera memerintahkan pembantunya mengantarkannya kepada pemiliknya. Ia sejak awal tak pernah membukanya.
Ujian penerimaan mahasiswa baru pun berlangsung. Hasilnya segera muncul.
Tamu Pak Prabuningrat itu kembali datang. Ia melaporkan bahwa anaknya tidak lulus ujian masuk Fakultas Hukum. Tapi dia memohon supaya tanah tersebut diterima oleh Pak Prabuningrat untuk keperluan kampus UII.
Baca Juga: 5 Tips Agar Bisa Konsisten dalam Mengejar Tujuan Hidup, Nomor 2 Wajib Dilakoni
Katanya, ia kagum dan terharu pada integritas Pak Prabuningrat dan UII. Ia telah membuktikannya sendiri. Maka, menurut dia, kampus dengan pengelola seperti Pak Prabuningrat dan jajarannya sepatutnya mendapar dukungan.
Dalam hal ini ia hanya mampu mendukungnya dengan cara mewakafkan tanahnya untuk pembangunan kampus UII, yang memang sangat kekurangan ruang kuliah.
Cukup aneh bahwa si tamu ikhlas mewakafkan tanahnya yang bernilai tinggi itu justeru karena anaknya tak diterima di FH-UII.
Tapi kepahitan ini memberi pengalaman berharga kepadanya tentang kokohnya integritas seorang rektor beserta universitas yang dipimpinnya.
Baca Juga: Pangkat dan Jabatan Hangus, Ferdy Sambo Minta Maaf Lagi ke Rekan Sejawat yang Terdampak Kasusnya
“Begitulah cerita di balik keberadaan kampus Fakultas Hukum UII di Jalan Taman Siswa itu,” tutur Hj. R. Ay Sitoresmi, salah satu puteri Pak Prabuningrat kepada saya.
Setelah lebih dari 40 tahun dimanfaatkan, beberapa bulan lalu kampus tersebut digabungkan dengan semua fakultas lain di kampus Jalan Kaliurang.
Kisah itulah yang segera muncul di benak saya ketika mendengar kabar Rektor Universitas Lampung (Unila) ditangkap oleh KPK karena, konon, menerima uang sogok dari orangtua sejumlah mahasiswa yang ingin anak mereka diterima di Unila.
Rincian konstruksi hukumnya masih harus kita tunggu dalam beberapa hari mendatang.
Apakah integritas Rektor UII GBPH Prabuningrat itu, dulu dan kini, merupakan perkecualian yang langka? Atau justeru perilaku Rektor Unila tersebut yang merupakan kasus langka?
Mungkin hanya para rektor, dekan dan seluruh jajaran mereka di kampus-kampus seluruh Indonesia yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mungkin mereka telah menjawabnya di dalam hati masing-masing.
Sebagai stakeholders lembaga-lambaga akademis yang terhormat dan selayaknya menjadi benteng integritas, kita bersyukur jika mereka mau mengeluarkan jawaban tersebut dari hati masing-masing.
Di tahun2 pertama sebagai rektor, Pak Prabu menurut cerita anaknya masih pake blangkon dan baju lurik.
Baca Juga: Novel George Orwell, 1984: Kontroversi yang Tak Pernah Mati
Kemudian berganti “seragam”: peci hitam dan kemeja putih lengan pendek; saya masih melihatnya dengan pakaian ini; sangat berwibawa. Seorang “kejawen” memimpin universitas Islam.
Ketika kampus UII diserbu tentara atas perintah Pangkowilhan II Jendaral Widodo (1978), Pak Prabu berdiri berkacak pinggang dan membentak para serdadu: “Keluar kalian! Tidak boleh masuk kampus ini. Jangan ganggu anak-anak saya!”
Jendral Widodo melunak. Tak terpikir oleh dia untuk menindak kakak Sri Sultan HB IX.***