DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kasus Sri Lanka: Jebakan Utang China Cuma Mitos yang Digemborkan Negara Barat

image
Aksi massa menduduki kediaman Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa.

ORBITINDONESIA - Jebakan utang China adalah cuma mitos, yang digembar-gemborkan negara Barat untuk memojokkan China. Mitos ini sering disebut jika ada negara berkembang yang bangkrut atau mengalami krisis ekonomi, misalnya kasus Sri Lanka.

Menurut riset yang dilakukan Deborah Brautigam dan Meg Rithmire dan disiarkan di situs The Atlantic, narasi jebakan utang China itu secara keliru menggambarkan Beijing dan negara-negara berkembang yang dihadapinya. Sri Lanka salah satunya.

Dalam kasus pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, mitos jebakan utang China itu hanyalah kebohongan yang tak sesuai fakta. Penelitian Brautigam dan Rithmire menunjukkan, bahwa bank-bank China bersedia untuk merestrukturisasi persyaratan pinjaman yang ada.

Baca Juga: Kanselir Jerman Olaf Scholz Berisiko Dipecat Jika Tidak Menyerah Kepada Presiden Rusia Vladimir Putin

Menurut dua peneliti Amerika ini, bank-bank China tidak pernah benar-benar menyita aset dari negara mana pun, apalagi pelabuhan Hambantota. Akuisisi perusahaan China atas saham mayoritas di pelabuhan Sri Lanka adalah sekadar warning (peringatan), tidak betul-betul terjadi.

Tetapi bukan itu yang sering disiarkan di media Barat. Menurut mitos “perangkap utang,” konon China membujuk negara-negara miskin untuk meminjam demi pinjaman, untuk membangun infrastruktur mahal yang tidak mampu mereka bayar, dan hanya akan menghasilkan sedikit manfaat.

Semua dengan tujuan akhir Beijing akhirnya mengambil kendali atas aset-aset ini dari peminjamnya yang kesulitan keuangan. Begitu sebuah negara terbebani oleh pinjaman China, seperti penjudi sial yang meminjam dari Mafia, ia menjadi boneka Beijing dan terancam kehilangan asetnya.

Begitulah mitos yang disebarkan Barat. Apalagi ketika negara di seluruh dunia menumpuk utang untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan meningkatkan ekonomi yang lesu, kekhawatiran akan kemungkinan penyitaan aset oleh China seperti itu semakin diperkuat.

Baca Juga: Ivana Trump Menulis Buku Cara Mengatasi Perceraian dan Menikmati Kehidupan Baru

Dalam contoh pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, menurut versi Barat, Beijing mendorong Sri Lanka untuk meminjam uang dari bank-bank China untuk membayar proyek tersebut, yang tidak memiliki prospek kesuksesan komersial.

Persyaratan yang berat dan pendapatan yang lemah akhirnya mendorong Sri Lanka ke default, di mana Beijing menuntut pelabuhan sebagai jaminan, dan memaksa pemerintah Sri Lanka untuk menyerahkan kendali kepada perusahaan China.

Pemerintahan AS di bawah Donald Trump memanfaatkan kasus pelabuhan Hambantota, untuk memperingatkan penggunaan utang strategis China.

Pada 2018, mantan Wakil Presiden AS Mike Pence menyebutnya “diplomasi jebakan utang”—sebuah ungkapan yang ia gunakan selama hari-hari terakhir pemerintahan—dan bukti ambisi militer China .

 Baca Juga: Swasembada Makanan Murah dan Sehat

Mantan Jaksa Agung AS, William Barr, juga mengangkat kasus tersebut untuk menyatakan bahwa China “membebani negara-negara miskin dengan utang, menolak untuk menegosiasikan kembali persyaratan, dan kemudian mengambil kendali atas infrastruktur itu sendiri.”

Mitos “perangkap utang China” itu mengemuka lagi, 15 Juli 2022, karena kasus bangkrutnya ekonomi Sri Lanka. Mitos ini tampaknya juga rutin dimainkan di media sosial oleh kubu oposisi untuk mengganggu pemerintah di negara tertentu, termasuk di Indonesia. ***

 

Berita Terkait