Israel Diduga Berencana Pindahkan Penduduk Palestina ke Mesir Ketika Negara Barat Mendukung Mereka
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 20 Oktober 2023 20:42 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Beberapa jam setelah serangan militan bersenjata Hamas ke Israel yang menewaskan 1.400 penduduk sipil pada 7 Oktober 2023, Netanyahu menyatakan perang melawan mereka.
Israel terus menerus melakukan serangan udara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, dan menjatuhkan 6.000 bom ke wilayah Gaza untuk membalas perlakuan Hamas.
Setelah serangkaian serangan dan bom terus menerus berjatuhan, ribuan penduduk Palestina yang putus asa berkumpul di Rafah, dan itulah yang diinginkan oleh Israel.
Baca Juga: Wow, Ternyata Ini 5 Negara Penyumbang Terbesar untuk Palestina, Indonesia Nomor Berapa?
Pertanyaan tentang kemana perginya 2,3 juta penduduk Palestina yang hidup dalam pengepungan akan pergi sampai saat ini masih belum ditemukan jawabannya.
Peta-peta yang menunjukan koridor-koridor evakuasi dimana seluruh penduduk sipil Palestina diperintahkan untuk melarikan diri muncul sebagai manifestasi dari fantasi kolonial.
Beberapa koridor evakuasi justru mengarahkan para penduduk untuk menjauh dari Palestina, seperti dua anak panah yang mengarah ke selatan menuju perbatasan Mesir.
Baca Juga: Dukung Penerapan Ekonomi Karbon, BRI Fokus Terapkan Langkah Ini!
Mesir adalah satu-satunya negara selain Israel yang berbagi perbatasan mereka dengan Gaza, dan saat ini sedang mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa untuk segera membuka gerbang Rafah.
Tujuan utamanya sangat jelas, Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya ingin Mesir menerima seluruh penduduk Palestina yang melarikan diri dari serangan tanpa henti dan krisis kemanusiaan.
Dalam sebuah wawancaranya, mantan Perdana Menteri Israel untuk AS, Danny Ayalon, mengatakan bahwa penduduk Palestina harus pergi dari Gaza dan Mesir harus menerima mereka.
Baca Juga: Iran Bantah Adanya Hukuman 99 Cambukan Bagi Cristiano Ronaldo, Pengalihan Isu Konflik Palestina vs Israel
"Rakyat Gaza harus mengungsi dan pergi ke wilayah luas di sisi lain Rafah di Perbatasan Sinai, Mesir. Dan Mesir harus melakukan hal tersebut (membuka gerbang). Terimalah mereka,"kata Ayalon dikutip Orbitindonesia.com dari The Guardian 20 Oktober 2023.
Alih-alih menekan Israel untuk segera menghentikan serangan Israel, melindungi warga sipil, dan mengizinkan bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza.
Beberapa negara di Eropa justru mencoba menjadi perantara kesepakatan dengan pihak Mesir melalui penawaran intensif ekonomi bagi mereka jika mau menerima pengungsi dari Palestina.
Baca Juga: Tentara dan Polisi Tangkapi Mahasiswa yang Ingin Demo Politik Dinasti
Otoritas Mesir mengatakan bahwa sampai kapanpun mereka tidak akan membuka gerbang Rafah dan mengizinkan orang asing dan warga Palestina berkewarganegaraan ganda untuk masuk ke negara mereka.
Kecuali, jika Militer Israel membuka blokade yang mereka lakukan terhadap wilayah Gaza dan membiarkan bantuan kemanusiaan masuk ke daerah kantong Palestina tersebut.
Ribuan ton makanan, bahan bakar, air, obat-obatan, dan bantuan penyelamatan nyawa lainnya yang diangkut dengan konvoi truk yang panjang telah terhenti di sisi Rafah selama beberapa hari.
Baca Juga: Inkonsistensi Simpati Itu Tercela: Soal Warga Sipil Korban Konflik Palestina vs Israel
Pada hari Rabu, Israel mengatakan bahwa mereka akan mengizinkan Mesir untuk memberikan bantuan kemanusiaan terbatas ke wilayah Gaza.
Meskipun, aliran bantuan yang akan diberikan diperkirakan tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan, dan bentuk kesepakatan tersebut masih sangat rapuh.
Akan tetapi, Presiden Mesir, Abdel Fatah Al-Sisi, mengatakan bahwa pihaknya menolak penggusuran yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina di tanah Gaza.
"Kami menolak penggusuran warga Palestina dari tanah mereka," kata Abdel Fatah dikutip Orbitindonesia.com dari The Guardian 20 Oktober 2023.
"Perjuangan Palestina adalah ibu dari segala penyebab yang memiliki dampak yang signifikan terhadap keamanan dan stabilitas," katanya.
Abdel Fateh Al-Sisi juga memperingatkan Netanyahu bahwa Mesir kemudian bisa saja menjadi basis baru serangan Palestina terhadap Israel kedepannya.
Baca Juga: Arab Saudi Membangun Kasino Demi Perdamaian Israel dan Palestina
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Soukry, memperingatkan Israel bahwa penggusuran paksa warga sipil Palestina ke Mesir merupakan sebuah kejahatan perang.
Meskipun menolak kebijakan yang pada dasarnya sejalan dengan Nakba kedua bahwa pengungsi massal warga Palestina selama perang Arab-Israel pada tahun 1984.
Penolakan ini patut diapresiasi. Akan tetapi retorika Kairo menyebut bahwa seluruh perjuangan Palestina atas hak mereka merupakan perjuangan yang tidak ada gunanya.
Baca Juga: Penjelasan Hubungan Yuji Itadori dan Choso Serta Peran Kenjaku di Anime Jujutsu Kaisen Season 2
Keputusan Otoritas Mesir pada akhirnya didorong oleh kekhawatiran terhadap keamanan nasional dan untuk menghindari skenario mimpi buruk yang dialami warga Palestina di wilayahnya sendiri.
Selama bertahun-tahun, Mesir telah terbukti terlibat dalam pengepungan di Gaza, membantu menegakan blokade di sana, menghancurkan terowongan yang menjadi jalur penghubung ke Gaza, dan berkoordinasi dengan Israel di bidang keamanan.
Termasuk mengizinkan drone, helikopter, dan pesawat tempur Israel untuk melakukan kampanye serangan udara di wilayah Sinai. Perlakuan Mesir terhadap warga Palestina yang keluar masuk Gaza terkenal karena penghinaannya.
Baca Juga: FIFA Matchday: Makram Dabboud Kagumi Atmosfer Pertandingan Timnas Indonesia melawan Palestina
Contoh terbaru adalah warga sipil Palestina yang mencoba untuk masuk ke wilayah Gaza pada tanggal 7 Oktober 2023, namun mendapati gerbang perbatasan tertutup sehingga membuat mereka terdampar di Sinai Utara.
Para penduduk sipil Palestina kemudian ditampung oleh keluarga-keluarga yang sedang berada di bawah instruksi keamanan ketat dan mereka tidak diizinkan untuk keluar dari lingkungan rumah mereka.
Diketahui bahwa Mesir telah mendirikan barikade di perbatasan yang tujuannya adalah untuk menahan eksodus massal warga Palestina, jika itu benar-benar terjadi.
Sementara itu, Pasukan Militer Israel baru-baru ini melakukan pengeboman di perlintasan Rafah sebanyak 4 kali, dan menembakan rudal yang mengarah ke penghalang beton di wilayah Mesir.
Saat ini, situasi yang ada di Gaza berada di jalan buntu. Seluruh makanan dan air yang dibutuhkan sudah hampir habis. Serta obat-obatan dan persediaan medis lainnya sudah habis.
Dokter yang menangani korban melakukan operasinya di lantai rumah sakit dan terkadang tidak menggunakan obat bius untuk membantu korban menahan rasa sakit.
Baca Juga: Inilah Jadwal Kickoff FIFA Matchday Timnas Indonesia Lawan Palestina Lengkap dengan Link Live Streaming
Hanya sedikit atau bahkan tidak ada bahan bakar yang tersisa di wilayah tersebut. Bahkan gedung-gedung juga sudah runtuh, menyisakan puing-puing terbungkus dengan debu dan beton.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, hingga hari Kamis kemarin korban jiwa dari penduduk Palestina sudah mencapai 3.478, termasuk lebih dari seribu diantaranya adalah anak-anak.
Sebanyak 1.300 orang lainnya diyakini masih terkubur di dalam reruntuhan bangunan, entah dalam kondisi masih hidup atau sudah tidak bernyawa.
Baca Juga: Indonesia Dorong Negara Anggota AALCO Suarakan Kepentingan di Tingkat Global
Lebih dari satu juta penduduk sipil Palestina dikabarkan sudah mengungsi ke tempat yang lebih jauh, dan masih banyak lagi kengerian yang belum diketahui dari wilayah tersebut.
Seorang penduduk Gaza, Mohammed Ghalayini, mengatakan bahwa dirinya sudah meninggalkan rumahnya di wilayah Gaza menuju ke wilayah Khan Yunis.
"Saya pikir tujuan akhir Israel adalah mengusir warga Palestina dari Gaza ke Mesir," kata Ghalayini dikutip Orbitindonesia.com dari The Guardian 20 Oktober 2023.
Baca Juga: FIFA Match Day, Erick Thohir: 10 Persen Hasil Penjualan Tiket akan Disumbangkan kepada Palestina
Ghalayini juga mengatakan, "100% itulah rencana mereka. Saya pikir ini adalah pembersihan etnis dan genosida yang digabungkan menjadi satu."
Gagasan untuk memindahkan penduduk Palestina dari Gaza ke Sinai bukanlah hal baru yang dilakukan. Pada pertengahan tahun 1950-an, PBB pernah berencana memindahkan ribuan warga Palestina ke wilayah Barat Laut Sinai.
Rencana tersebut kemudian menimbulkan percikan kemarahan masyarakat, kemudian pada akhirnya rencana tersebut dibatalkan dalam pemberontakan massal.
Kemudian setelah peristiwa Naksa pada tahun 1967, seorang politisi dari Israel, Nelson Yigal Allon, menyusun rencana penggusuran yang kemudian disebut sebagai Rencana Allon.
Rencana Allon adalah sebuah gagasan yang misi utamanya adalah mengambil alih seluruh wilayah Gaza untuk dimasukan ke dalam wilayah kekuasaan Israel.
Pada tahun 1971, sekitar 400 keluarga berkewarganegaraan Palestina dipaksa untuk mengungsi akibat Pasukan Militer Israel merelokasi mereka menuju wilayah Arish.
Baca Juga: Dr Muhsin Labib: Nasionalisme Palsu dan Isu PalestinaBaca Juga: Dr Muhsin Labib: Nasionalisme Palsu dan Isu Palestina
Sementara sebanyak 12.000 keluarga terduga tersangka gerilyawan Palestina dideportasi ke Kamp Penahanan di Gurun Sinai dan baru bisa kembali ke Gaza dua dekade kemudian setelah adanya tekanan internasional.
Pihak Israel memanfaatkan situasi yang terjadi saat ini. Dengan fakta bahwa banyak negara barat yang mendukung perbuatan mereka, Israel justru membawa penduduk Palestina di Gaza menuju jurang kehancuran.
Otoritas Israel mungkin mencoba untuk mengusir penduduk Palestina di Gaza menuju ke Mesir untuk memperbesar luas wilayah mereka di peta menjadi lebih jauh lagi.***