Satrio Arismunandar: Indonesia Kuat Jika Identitas Keagamaan dan Keindonesiaan Teramu Harmonis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 23 Desember 2022 15:35 WIB
ORBITINDONESIA - Berbagai umat beragama di Indonesia berusaha meramu atau merangkum identitas keagamaan dan identitas keindonesiaan. Jika ramuan ini terpadu secara harmonis, Indonesia akan kuat karena keindonesiaan itu ditopang oleh keagamaan. Hal itu dikatakan Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar, lulusan S3 Filsafat Universitas Indonesia ini mengomentari webinar Menjadi Kristen di Indonesia, yang diadakan Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA. Webinar itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 22 Desember 2022.
Sebagai narasumber adalah Pdt. Dr. Albertus Patty, MA, M.St, Pendeta GKI Maulana Yusuf Bandung. Satrio Arismunandar mengutip ucapan Albertus bahwa umat Kristen memiliki dua identitas sekaligus, sebagai orang Kristen dan sebagai orang Indonesia.
Baca Juga: Selamatkan Jakarta dari Banjir, Jokowi Minta Heru Budi Hartono Tuntaskan Sodetan Ciliwung
Menurut Satrio, meramu atau merangkum dua identitas itu gampang-gampang susah. Jika gagal paham atau salah dalam cara meramu, yang terjadi bukan rangkuman, tetapi malah pertentangan antar-identitas.
Identitas keagamaan dipertentangkan dengan identitas keindonesiaan. Dampaknya akan sangat buruk. “Tetapi jika rangkuman itu berhasil dan terpadu harmonis, maka dampaknya akan positif luar biasa,” ujar Satrio.
“Problem kita adalah bagaimana bisa tercapai 100 persen Kristen sekaligus 100 persen Indonesia, atau 100 Katolik sekaligus 100 persen Indonesia, atau 100 persen Islam sekaligus 100 persen Indonesia,” lanjut Satrio.
“Pemahaman ini akan memperkuat persatuan nasional, karena semua umat beragama disatukan oleh keindonesiaan yang sama, di mana keindonesiaan itu sendiri berpadu harmonis dengan identitas keagamaan masing-masing,” jelasnya.
Baca Juga: Poin Penting Saat Daftar PPPK Tenaga Teknis, Jangan Sampai Salah Isi Nama, Ini Dampaknya
Menyinggung kasus-kasus intoleransi keagamaan di sejumlah daerah dan adanya gerakan radikal keagamaan, Satrio menyebut ini sebagai wujud dan contoh kegagalan dalam meramu identitas.
Agama membawa nilai-nilai universal. Namun nilai-nilai universal itu selalu butuh –bahkan tidak terhindarkan—untuk diterjemahkan ke dalam konteks lokal.
“Di Timur Tengah, tempat lahirnya agama Yahudi, Kristen, dan Islam, ada konteks lokalnya sendiri. Sedangkan untuk kita di sini, konteks lokalnya adalah keindonesiaan,” sambung Satrio. ***