DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Inilah 100 Buku yang Mewarnai Indonesia, Ada Karya Bung Karno, Bung Hatta, Sampai Pramoedya Ananta Toer

image
Inilah 100 Buku Bernilai Sejarah dari Masa Kolonial Sampai Sekarang Ini.

 

ORBITINDONESIA - “Bangsa yang besar dilahirkan oleh buku-buku besar. Bangsa yang besar juga melahirkan buku buku besar. Tapi bagaimana cara mengakses dan membaca kembali buku-buku itu? Bagaimana cara kita dapat membaca kembali, misalnya, buku karya Bung Karno “Di bawah Revolusi?” Atau buku Takdir Alisjahbana, “Layar Terkembang?”

Ini potongan pidato Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, Denny JA di bulan Desember 2021.

Sekarang setahun kemudian, November 2022, Satupena meluncurkan link tempat mengakses dan membeli buku- buku itu.

Baca Juga: Denny JA: Ada Dua Arus Besar Cara Beragama, Yaitu Pemurnian Agama dan Sinkretisme

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: PDI Perjuangan Berkibar di Puncak, Nasdem yang Deklarasi Anies Baswedan 3,9 Persen

Baca Juga: Denny JA: Krisis Ekonomi Sering Menjadi Ibu Kandung Krisis Politik

Awalnya SATUPENA berniat menerbitkan 100 buku itu kembali. Tapi ada kerumitan soal copy rights. Banyak pula input dari pecinta buku yang menyatakan lebih baik Satupena mendaya- gunakan saja penerbitan yang sudah ada, dan toko online yang menjual buku itu.

Bukankah yang penting bagi SATUPENA adalah informasi bagi pembaca soal 100 buku yang mewarnai Indonesia itu? Lalu memberikan info pula untuk memudahkan peminat mencarinya sendiri.

SATUPENA sudah  memilih 100 judul buku itu melalui kriteria, survei, dan penilaian para ahli.

Ini contoh buku yang terpilih. Di  antaranya: Di bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno (1959), Renungan Indonesia karangan Sutan Sjahrir (1947), dan Demokrasi Kita karangan Bung Hatta (1963). 

Baca Juga: Webinar Satupena Akan Diskusikan Hubungan Agama dan Adat Tradisi, Khususnya Kasus Yogyakarta

Selain itu, RA Kartini menulis Habis Gelap Terbitlah Terang (1922), buku Marah Rusli menulis Siti Nurbaya (1922), dan Layar Terkembang karya Takdir Alisjahbana (1936). Ada juga Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920). Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer (1950).

Itulah contoh buku fiksi dan non fiksi yang memengaruhi batin, sejarah dan budaya Indonesia.

Untuk menentukan buku-buku tersebut, Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA menetapkan beberapa prosedur yakni, 

  1. 100 buku itu dipilih oleh forum penulis. Sebuah pertanyaan terbuka sudah diedarkan sejak akhir Agustus 2021- tengah September 2021 kepada empat WAG yang masing beranggotakan 100-250 penulis
  2. Dari undangan itu terkumpul total 42 judul buku non-fiksi, 73 buku fiksi. Total terkumpul 115 judul buku.
  3. Satupena membentuk tim ahli untuk menyempurnakan pilihan forum itu. Masing masing dua orang. Untuk non- Fiksi: Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Manuel Kaisiepo. Untuk fiksi: Nia Samsihono dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti.
  4. Sesuai usulan yang masuk, pilihan dipadatkan dan diperkaya menjadi 100 judul buku saja.
  5. Tim selektor diberikan wewenang mengusulkan buku lain, termasuk menambah, mengurangi dari daftar itu agar lebih mendekati kriteria.
  6. Kritreria buku yang dipilih dalam daftar harus memenuhi syarat ini:

a). Buku itu dibaca luas di eranya;

b). Buku itu menciptakan genre baru, cara penulisan baru, perspektif baru, yang diikuti banyak buku setelahnya;

c). Buku itu menyampaikan pesan/pendekatan yang penting;

d). Diupayakan satu tokoh/satu penulis darinya hanya diambil satu judul buku saja, kecuali yang sangat fenomenal.

Kini 100 link 100 buku itu bisa diakses di sini:

https://www.satupena.org/daftar-100-buku-bernilai-sejarah-dan-budaya-indonesia-sejak-era-kolonial/

 

Berita Terkait