Ia pun Meninggalkan Laskar Jihad
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 16 Juli 2022 09:38 WIB
Oleh: Denny JA
ORBITINDONESIA - Tasbih itu masih tergantung di dinding.
Selalu di sana.
Sejak 22 tahun lalu.
Setiap Adrian menatap tasbih itu, hatinya tetap berdebar.
Bercampur sedih.
Marah.
Menyesal.
Kadang menetes air mata.
“Alwi, Alwi.
Jika saja waktu bisa diputar balik, aku tak akan memintamu pulang.”
Baca Juga: PSIS Semarang Rekrut Kiper Wahyu Tri Nugroho, Pendukung: Menyambut Dingin Tak Kiro Nadeo
“Biarlah kau kerja di Jakarta.
Biarlah aku yang menjaga Ibu dan Dik Tina di Ambon. Maafkan aku,
kakak.”
Terbayang malam itu.
Satu malam di bulan Januari tahun 2000.
Alwi terluka parah.
Pasukan Kristus datang menyerang.
Pasukan Muslim menahan.
Perang terbuka.
Membunuh atau dibunuh.
Bunyi adu parang, letupan pistol, bercampur teriak yang melengking, dan
ekspresi marah.
Adrian membopong Alwi.
Darah di sekujur tubuh Alwi.
Mereka melewati jalan yang bau amis.
Mayat bergelimpangan di sepanjang jalan.
“Adrian, baringkan aku di sini saja.”
“Tidak Alwi. Kau harus kubawa pulang.”
“Jangan, aku sudah tak kuat. Sakit. Di sini saja.”
Adrian pun menurunkan badan kakaknya.
“Ambilkan tasbih di kalungku.”
Adrian mengambil tasbih itu dan diberikannya ke tangan kanan Alwi.
Sambil berbaring, Alwi berzikir.
Terus berzikir.
Tangannya menggerak-gerakkan tasbih.
Hingga napas penghabisan.
Adrian menangis,
segugukan.
Ia peluk kakak satu satunya.
“Ampun Tuhan, ampun.
Alwi, apa yang harus kukatakan pada Ibu?
Ampun.”
Baca Juga: Viral, Video Sekelompok Perempuan Perlihatkan Perhiasan Berukuran Besar di Suatu Acara
Mata Adrian terbelalak.
Ia berdiri tegak.
Malam sudah sepi.
Tangan Adrian mengacung- ngacung.
Dibayangkannya,
Ia sedang bicara pada musuhnya, Laskar Kristus.
“Bangsat kalian semua.
Bangsaaaaattt !!!!!
Kuhabisi Kalian.
Tunggu pembalasanku.”
Tasbih Alwi itu, Adrian simpan.
Ia gantung tasbih itu di dinding, di kamar tidurnya.
Banyak barang di kamarnya sudah berpindah-pindah.
Tapi tasbih itu tetap.
Tergantung di sana.
Selalu.
Sejak 22 tahun lalu.
Baca Juga: Chaos Sri Lanka Tak Sedang Menuju Indonesia
Adrian ingat suasana itu.
Tahun 1999, masa awal kerusuhan.
Ia telepon kakaknya Alwi yang sedang bekerja di Jakarta.
“Kak Alwi, pulang dulu.
Jaga ibu dan Dik Tina.
Aku tak bisa sendirian.
Kawasan kita akan diserbu Laskar Kristus.
Ibu takut.”
“Tapi aku baru masuk kerja, Dik. Jika langsung minta cuti, apa kata dunia,” jawab Alwi.
“Pulanglah Kak. Situasi makin gawat. Banyak keluarga jauh kita yang mati dibunuh. Ini lebih mendesak.”
Baca Juga: Media BBC Akhirnya Mengakui, Tudingan Jebakan Utang China di Sri Lanka adalah Keliru
Adrian meminta Alwi mencari informasi. Jafar Umar Thalib akan ke Maluku. (1)
Ia akan membawa banyak pejuang muslim membantu muslim lainnya.
Sejak saat itu, Adrian dan Alwi menjadikan Jafar Umar Thalib sebagai guru. Imam besar. Panglima. Komando tunggal.
Jafar Umar Thalib, bukan orang Maluku.
Tapi ia peduli.
Jafar lahir di Malang, Jawa.
Tapi ia ikut menjaga umat Islam, yang di Maluku.
Baca Juga: Piala AFF U19: Malaysia Juara, Laos Runner Up, Vietnam Ketiga
Ia veteran Afganistan.
Pernah berjumpa Osama Bin Laden.
Tapi Jafar tak sepaham.
Jafar dilatih Mujahiddin di Afganistan menghadapi ancaman Uni Sovyet.”
Di bawah komando Jafar,
terbentuk Laskar Jihad,
mengimbangi Laskar Kristus.
Ia ingat hari- hari itu.
Laskar Jihad konsolidasi.
“Jika satu mesjid dirusak, maka satu gereja kita juga rusak.
Takbir! Allahu Akbar.”
Baca Juga: Jebakan Utang Sebenarnya: Mayoritas 81 Persen Utang Sri Lanka Justru ke Negara Barat, Bukan China
“Jika satu Muslim dibunuh, satu Kristen kita bunuh juga.
Takbir! Allahu Akbar.”
“Mata dibalas mata. Nyawa di balas Nyawa! “
Adrian tak ingat berapa mesjid yang hancur.
Ia juga tak ingat berapa gereja yang juga hancur.
Yang ia tahu, jumlahnya puluhan.
Sejak datangnya Jafar Umar Thalib, komunitas Muslim lebih terorganisir.
Lebih terlatih.
Lebih militan.
Baca Juga: Kasus Sri Lanka: Jebakan Utang China Cuma Mitos yang Digemborkan Negara Barat
Di bawah komando Jafar, Laskar Jihad meyakini.
“Kita berani dan benar,
bukan hanya karena kita membela sesama Muslim. Kita juga bela NKRI. Mereka itu gerakan separatis. Mereka akan dirikan negara lain: RMS! Kita bela Negara.”
“Takbir! Allahu Akbar!”
Adrian juga mencatat. Panglima Jafar keras sekali kepada pemerintah Indonesia.
Ia tak suka presiden saat itu, yang perempuan.
Adrian berbeda dengan kakaknya Alwi.
Alwi hanya seorang yang soleh, taat agama,
Tapi Adrian lebih dari itu.
Ia seorang laskar.
Ia pejuang.
Ia ingin lebih,
menjadi paramiliter.
Ia ingin ahli merakit bom, ahli menggunakan senjata, ahli agitasi.
Baca Juga: Ivana Trump Menulis Buku Cara Mengatasi Perceraian dan Menikmati Kehidupan Baru
Di usia muda, 17 tahun, ia bergabung dengan mujahidin di Seram Ambon.
la terpilih mengikuti latihan
militer.
Pernah Adrian latihan di
sebuah gunung.
Itu Gunung Waisana di Pulau Hitu, Ambon.
Pesertanya dari berbagai daerah Maluku.
Sekitar 30 orang.
“Kita harus membentuk laskar sendiri. Kita tak percaya polisi Indonesia. Kita tak percaya tentara Indonesia. Kita buat polisi sendiri. Kita buat tentara sendiri. Takbir! Allahu Akbar!”
Semua peserta sepakat dan takbir bersama: “Allahu Akbar!”
Baca Juga: Swasembada Makanan Murah dan Sehat
Adrian sempat ke Pakistan.
Ia pergi ke Muzaffarabad.
Itu sebuah tempat bernama
Baitul Mujahidin.
Bersama mujahid lain,
ia juga latihan militer, di sebuah pegunungan. (2)
Alangkah senang hati Adrian.
Ia mahir menyerang.
Ia mahir bertahan.
Itu senjata bisa ia operasikan.
AK 47, AK 56, SKS, M 16, MP 5, GRENOP.
Ia juga ahli soal G2, G3, Sneeper Draganop, DSK 12,7.
Subuh itu, di puncak gunung,
Ia berikrar.
“Maluku, Maluku,
Aku akan menjagamu.
Wahai Laskar Kristus,
aku datang padamu.
Aku Adrian, ahli senjata,
aku segera menjadi pimpinan laskar Jihad.”
Baca Juga: Simak Prakiraan Harga Minyak Goreng Kemasan di Alfamart 16 Juli 2022
Adrian tak ingat.
Sudah berapa muslim yang ia bela. Sudah berapa orang Kristen sudah ia bunuh. Yang ia tahu: banyak. Jumlahnya puluhan.
Tapi situasi cepat berubah.
Ia sedih sekali.
Tahun 2002, Laskar Jihad di Maluku membubarkan diri.
Mereka juga menarik 3.000 pasukannya, ke luar dari Maluku.
Senjata harus diserahkan.
Panglima Jafar Umar Thalib ditangkap.
Panglima diadili.
Teman- temannya menjadi buronan.
Baca Juga: Simak Prakiraan Harga Minyak Goreng Kemasan di Alfamart 16 Juli 2022
Adrian tak seberani yang ia duga. Hatinya kecut juga.
Ia sempat diam- diam kontak ibunya. Di satu tempat.
“Jangan kau pulang dulu, Adrian. Kau dicari,” pesan Ibu. “Kau bisa dibunuh. Hati- hati. Ibu sudah kehilangan Alwi. Hanya kau anak lelakiku.”
Ibu menangis. Dipeluknya Adrian. Tak ingin dilepas.
Baca Juga: Catat, Ini Prakiraan Harga Minyak Goreng Kemasan di Indomaret 16 Juli 2022
“Tenang bu, tenang. Aku jaga diri. Aku juga tak ingin mati.” Adrian peluk Ibunya. Kini Adrian yang menangis.
Seolah Adrian menjadi bayi kembali. Ada rasa yang aneh. Menyelinap.
Kehangatan pelukan Ibu.
Kasih sayang Ibu yang lembut.
Sudah lama ia rindukan.
Selama ini ia hidup dengan kekerasan. Kemarahan.
Ia rindu kelembutan.
Ia ingin dibuai kelembutan.
Cinta.
Kasih sayang.
Kedamaian.
Baca Juga: Banyak Kru Kena Covid 19, Syuting Taxi Driver 2 di Vietnam Ditunda
Berminggu- minggu, Adrian sembunyi. Ia lari ke gunung.
Ia lari ke hutan. Kadang ia kelaparan. Pasukan laskar jihad terkucar- kacir.
Ia mendengar Maluku harus damai. Kristen dan Muslim bersaudara. Permusuhan harus diakhiri.
Subuh itu, entah mengapa,
ia menangis. Ia teringat guru ngajinya yang lain.
Suara itu datang di hatinya. Bergema: “Beragamalah dengan lemah lembut.” (3)
Baca Juga: 10 Link Twibbon Bertema MPLS untuk Semua Tingkat Sekolah, Desain Keren dan Kekinian
Adrian teringat pula syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Adrian teringat itu:
“Zaman ini adalah zamannya untuk berlemah-lembut.
Bukan zamannya bersikap keras.
Berdakwahlah dengan lemah lembut.
Sampaikan Islam dengan lemah lembut.
Niscaya, ia akan sampai ke hati.
Dari hati ke hati.”
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS An-Nahl [16]: 125)
Baca Juga: Piala AFF U19: Malaysia Juara, Laos Runner Up, Vietnam Ketiga
Adrian gelisah.
Hatinya menjadi panggung.
Kadang datang wajah Jafar Umar Thalib, yang membuatnya keras dan penuh amarah.
Kadang datang wajah syaik Abdul Aziz, yang membuatnya teduh, damai, lemah lembut.
Tahun 2005,
itu tahun pencerahan.
Adrian lahir kembali.
Hatinya berpisah,
Batinnya berpisah,
ditinggalkannya cara beragama gaya Laskar Jihad.
Ia memilih Islam yang lemah lembut.
Tapi, Maluku di tahun 1999-2002 tak mungkin dilupakannya.
Baca Juga: Berapa Harga Tabung Gas Elpiji Subsidi 3 Kg Sekarang? Simak Keterangannya di Sini
Tasbih itu,
selalu di sana.
Walau sudah bersih,
bayangan itu tetap hadir,
ketika tasbih itu penuh darah,
darah kakaknya Alwi, yang mengucur di tangan, menyebut namaNya, menjemput kematian.
“Seandainya waktu bisa diputar balik, tak kulakukan itu, Alwi.
Tak aku minta kau pulang. Sehingga kau tak perlu ke sini, tak perlu kau saksikan.
Itu era, ketika Maluku menjadi gila.”
Suara Adzan Subuh memanggil.
Pelan dan syahdu.
Adrian berwudhu.
Air itu terasa sejuk membasuh wajahnya.
Membasuh hatinya.
Lezat sekali.
Tak pernah ia rasakan damai sedalam ini.
Damai sejak ia memilih tafsir Islam yang lemah lembut. ***
Juli 2022.
CATATAN
1. Jafar Umar Thalib membentuk Laskar Jihad, membawa banyak pejuang Muslim ke Maluku, membela sesama Muslim dari serangan Kristen.
https://m.liputan6.com/news/read/33680/jafar-provokator-atau-kambing-hitam
2.Saat itu, pejuang Muslim acap berlatih ketrampilan militer hingga ke Pakistan
https://islami.co/kisah-seorang-jihadis-menolak-pinangan-isis/
3. Berdakwah dengan lemah lembut
https://m.republika.co.id/amp/nkf7kb34
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang dan penduduk Asli di Lampung (2012).