DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Agung Wibawanto: PR Berat Dunia Pendidikan Kita

image
Kegiatan belajar mengajar di sekolah, bagian dari pendidikan.

ORBITINDONESIA.COM - "Buat apa sekolah tinggi-tinggi? Kasihan orangtua yang membiayai, duit dari mana? Ujung-ujungnya juga pasti cari kerja kan? Lulus SMP saya mau menikah terus kerja ke luar negeri jadi TKW. Cari duit, kumpulin duit yang banyak buat orangtua juga, bantu orangtua, kasihan mereka...," ucap Claudia dengan penuh yakin.

Meski hanya cuplikan dialog di sebuah sinetron, namun tetap menjadi hal yang serius dalam pemikiran saya. Mungkin saja dialog tersebut justru "mengutip" dari perbincangan masyarakat di kehidupan sesungguhnya?

Sinetron Dunia Terbalik memang sejak awal sarat menyampaikan pesan moral, tidak sekadar menjual dagelan konyol.

Baca Juga: Fluktuasi Tingkat Kepuasan Terhadap Kinerja Presiden Jokowi, April 2022 Hingga April 2023

Kembali kepada ucapan tokoh Claudia. Yang membikin penasaran penonton, mengapa bu guru Yola tidak memberi jawaban yang bisa "meluruskan" cara berpikir Claudia?

Seperti saat menjelaskan dan mengarahkan cara berpikir anak-anak SD (Jeniper, Debby dan Deni). Dapat dipahami, sang sutradara menghendaki penonton berpikir (jika memang menonton sambil berpikir).

Apa yang disampaikan Claudia adalah persoalan orang dewasa (bukan level anak-anak). Banyak masyarakat yang setuju dengan Claudia, terutama mereka masyarakat kecil, terutama lagi di pedesaan.

Bagi kelas menengah atau orang kota, dapat saja menolak pandangan tersebut, namun pada akhirnya mereka akan dihadapi persoalan yang sama. Sulit mencari kerja dengan gaji yang mencukupi.

Baca Juga: Selama Idul Fitri, KPK Terima Ratusan Laporan Gratifikasi, Nilainya Capai Rp 240 Juta!

Sementara tokoh Akum pernah menyampaikan bahwa sekolah bukan untuk mencari uang, melainkan agar pintar dan bermanfaat buat orang banyak (saat berdebat dengan Dadang).

Berbalik dengan Dadang yang menganggap sekolah tidak perlu bagi Debby (anaknya), karena pasti menghabiskan biaya banyak, menghabiskan uang.

Bagi Dadang, anaknya seperti sudah ditakdirkan menggantikan ibunya kerja sebagai TKW, mencari dan mendapatkan uang banyak, agar ia tetap berstatus orang kaya.

Akum mengatakan pula bahwa rejeki setiap orang sudah ada yang mengatur. Tentu dialog itu membuat logika penonton jadi "bertempur" sendiri.

Baca Juga: JOKE: Kisah Empat Bapak yang Menunggu Kelahiran Anaknya dan Ternyata Kembar Semua

Kadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan wujudnya. Sinetron ini mampu mengulik-ulik antara perasaan dengan logika, antara idealis dengan pragmatis, antara harapan dengan kenyataan, dan antara butuh sekolah dengan tidak butuh sekolah, antara pintar tapi miskin dengan tidak pintar tapi kaya, antara punya keterampilan tapi menganggur dengan tidak punya keterampilan tapi kerja.

Seperti tadi saya katakan, bahwa sinetron ini tidak hanya cerita fiksi melainkan potret kehidupan nyata.

Salah satu PR (pekerjaan rumah) yang masih terus dibenahi dalam dunia pendidikan kita terutama adalah: tingginya angka putus sekolah. Jika dirunut penyebabnya maka (mungkin) dapat membongkar beberapa permasalahan yang ada selama ini.

Hal pertama, adalah biaya mahal. Mengapa rakyat masih belum menikmati pendidikan non-biaya yang berkualitas?

Baca Juga: Stabilitas dan Perdamaian Menjadi Syarat Mutlak Wujudkan Sentralitas ASEAN

Bukankah pendidikan salah satu pelayanan publik, di mana menjadi kewajiban negara membiayai. Bagaimana dengan swasta? Mengapa swasta harus turut menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang besar? Mengapa tidak diserahkan saja kepada pemerintah?

Hal kedua, adalah kehendak masyarakat sendiri yang lebih mengutamakan mencari uang alias bekerja bagi anak-anaknya. Memang ada saling-keterkaitan antara penyebab pertama dengan kedua.

Ini akan masuk pada ranah pola pikir masyarakat yang sangat sederhana nan pragmatis, bagaimana mengurangi pengeluaran sekaligus memperbesar pemasukan.

Tidak masalah anak-anak mereka tidak mengetahui rumus pitagoras, tidak perlu tahu apa itu metamorfosis, siapa itu Albert Einstein, tahun berapa perang Diponegoro, di mana letak kerjaan Sriwijaya, bahkan bagaimana menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta teks Pancasila. Yang terpenting mereka bisa mencari dan mendapatkan uang.

Baca Juga: Evaluasi Program: Truk AMDK Dibatasi, Pedagang Air Galon di Jabodetabek Sempat Kekurangan Stok

Mungkin sepele, namun sebuah PR besar yang menyelimuti dunia pendidikan. Jika ingin ditarik, maka pertanyaan dasarnya adalah, SEKOLAH ITU UNTUK APA? Atau SEKOLAH ITU SUPAYA APA?

Sebelum terlupa, tokoh ustadz Kemed dalam sinetron yang sama pernah menyindir, "Kadang kita malu tidak bisa bahasa Inggris, tapi tidak malu jika tidak bisa baca al Quran. kita bela-belain sekolah dengan biaya mahal, namun tidak mau belajar ngaji yang gratis!"

Fokusnya bukan soal urusan agama, melainkan mengapa kita harus sekolah, meski kadang dengan biaya mahal, bahkan harus ditambah dengan membayar les di bimbel.

Begitu mati-matian orangtua membiayai anaknya untuk sekolah hingga pendidikan tinggi, namun pernahkah kita tanya, apa yang didapat si anak di sekolah? Sudah benarkah orangtua memberi bekal kepada anak kelak ia dewasa?

Baca Juga: Percakapan Bung Karno dan Presiden Yugoslavia Tito Tentang Nasib Bangsa Sesudah Mereka Meninggal

Jangan sampai sekolah hanya dianggap investasi bodong bagi masa depan anak. Karena memang tidak ada sekolah yang bisa menjamin bahwa kelak si anak akan mendapat kerja dengan gaji besar, berkeluarga, punya anak dan hidup bahagia hingga akhir hayatnya.

Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing dan sekolah hanya menjadi semacam lentera yang akan membuat terang jalan itu. Soal arah tujuan dan cara, bukanlah tanggungjawab Si Lentera.

(Oleh: Agung Wibawanto) ***

Berita Terkait