SMRC: Hanya 15,5 Persen Elektabilitas Jokowi Bila Kembali Jadi Calon Presiden
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 06 Januari 2023 08:40 WIB
ORBITINDONESIA - Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Desember 2022 menunjukkan, tingkat keterpilihan Jokowi hanya sekitar 15,5 persen dalam pertanyaan top of mind pemilihan presiden.
Demikian hasil survei SMRC yang dipresentasikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertajuk “Peluang Jokowi Kalau Jadi Presiden lagi” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 5 Januari 2023.
Saiful menyatakan, orang yang punya pikiran agar Jokowi kembali maju dalam pemilihan presiden di 2024 setelah dua kali jadi presiden, di benaknya ada keyakinan bahwa dia akan terpilih kembali karena tingkat kepuasan pada Jokowi cukup tinggi, sekitar 74,2 persen pada survei Desember 2022.
Baca Juga: Yang Sedang Butuh Pekerjaan, Ada Lowongan Kerja di PT Surganya Motor Indonesia (Planet Ban)
SMRC memiliki serangkaian survei tentang preferensi publik mengenai calon-calon presiden. Dalam pertanyaan top of mind atau jawaban terbuka dan spontan, pada Mei 2021, ada 27,6 persen publik yang menyebutkan nama Joko Widodo.
Saiful melihat angka 27,6 persen tersebut terlalu rendah untuk seorang petahana yang sudah dua kali menjabat.
Pada survei-survei berikutnya dukungan publik pada Jokowi secara konsisten mengalami penurunan. Pada survei Desember 2022, hanya 15,5 persen yang menyebut nama Jokowi dalam pertanyaan top of mind mengenai calon presiden.
Saiful melihat, dari data mengenai pilihan presiden top of mind, suara Jokowi tidak meyakinkan.
Baca Juga: Taslim Syahlan: Dalam Relasi Antarumat Beragama, Ada Beberapa Perilaku yang Jadi Pemicu Konflik
Jokowi, kata dia, seharusnya unggul mendekati 50 persen sebagai orang yang sudah dua kali menjadi presiden dan memiliki tingkat kepuasan publik di atas 70 persen.
“Terlalu jauh gap antara sekitar 74,2 persen yang puas (dengan kinerja Jokowi) dengan yang memilih hanya sekitar 15,5 persen,” kata Saiful.
Dalam simulasi semi terbuka dengan daftar nama dan responden diberi kesempatan menyebut nama lain di luar daftar nama tersebut, hanya 14,7 persen yang memilih Jokowi, turun dari 28 persen di Mei 2021.
Elektabilitas Jokowi jauh di bawah Ganjar yang pada simulasi ini mendapatkan suara 23,1 persen, sedikit di bawah suara Anies 17,2 persen, dan sama dengan Prabowo yang mendapatkan suara 14,6 persen.
Baca Juga: Begini Klarifikasi Ustadzah Nadia, Qoriah yang Disawer Uang oleh Jamaah Pria di Pandeglang, Banten
Baik dalam pertanyaan top of mind maupun semi terbuka, dukungan pada Jokowi tidak banyak mengalami perbedaan.
“Karena itu, kalau menginginkan Pak Jokowi maju lagi untuk ketiga kalinya dalam pilpres dengan asumsi bahwa dia pasti akan dipilih, datanya tidak ada, datanya tidak menunjukkan itu,” kata Saiful.
Lemahnya dukungan ini, kata Saiful, mungkin disebabkan oleh pikiran publik yang memang menganggap Jokowi tidak akan maju dalam Pilpres. Publik sudah berpikir tentang tokoh lain seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto.
“Sudah ada orang lain yang diharapkan bisa menggantikan Pak Jokowi,” lanjut Saiful.
Baca Juga: Piala AFF 2022 : INGAT ! Indonesia Melawan Vietnam Pukul 16.30 WIB
Menurut Saiful, pemikiran untuk melanjutkan kekuasaan Jokowi karena dia dinilai bagus adalah normal. Namun hal ini akan membuat tidak ada suksesi kepemimpinan. Pemimpin yang dinilai bagus akan terus-menerus dipertahankan. Ini masalah, kata Saiful.
Saiful mencontohkan beberapa presiden Amerika Serikat yang populer dan mendapatkan tingkat kepuasan publik yang tinggi seperti Bill Clinton, Obama, dan Ronald Reagan, juga diminta untuk menambah periode kepemimpinan.
Namun, kata Saiful, mereka menolak penambahan periode tersebut karena alasan konstitusi dan pemikiran normatif pembatasan kekuasaan sebagai dasar mereka bernegara.
Saiful menyatakan bahwa ketika para pendukung terdekat Jokowi mendorong untuk maju kembali dalam pemilihan presiden untuk ketiga kalinya, seharusnya Jokowi meniru Barack Obama, Ronald Reagan, atau Bill Clinton yang menyatakan “tidak bisa, saya tidak akan melakukan itu, jangan sekali-sekali anda berpikir demikian.” ***